Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

“Bukunya Ustadz”, begitu Bapak itu menjajakan bukunya pada setiap orang yang ada di kantor termasuk kepada saya. Dan, setiap orang yang disapanya dipanggilnya ustadz.

Hari itu adalah Kamis, Ramadhan 1430 H, hari yang ke-20. Bapak Tua Penjual buku itu datang menghampiri, ketika saya sedang bekerja. Secepat kilat Bapak itu mengeluarkan sebuah buku yang cukup tebal, judulnya “Tafsir Al Qur’an Per Kata” yang dikarang oleh Dr. Ahmad Hatta, MA, terbitan Al Maghfiroh.

Sebenarnya hari itu saya sedang tidak ada keinginan untuk membeli buku, tetapi nggak enak juga rasanya harus cepat-cepat mengusir Bapak itu dari meja kerja saya.

Kemudian saya pura-pura bertanya saja,
“Ada buku yang lain nggak Pak?”.
“Wah, nggak bawa ustadz. Habis lagi puasa, lemes rasanya bawa buku banyak-banyak ”. Jawab Bapak itu. Alhamdulillah…, untung nggak bawa buku-buku yang lain. Coba kalau ada, kan nggak enak juga kalau nggak beli, he…he…

“Bapak puasa juga?”. “Alhamdulillah, masih puasa ustadz. Kalau tahun kemarin ada yang bolong, karena sakit.”

Saya perhatikan Bapak itu, betapa kulit tangan dan mukanya banyak sekali guratan-guratan keriput, menandakan bahwa usianya sudah tidak muda lagi. Walapun setua itu, tetapi masih giat bekerja, apalagi di bulan Ramadhan ini. Dan tentunya berpuasa juga, sebagai kewajiban seorang Muslim.

“Ngomong-omong, sudah berapa lama Bapak berjualan buku?” Pertanyaan ini yang sebenarnya menggelitik hati saya dari sejak awal ketika Bapak ini datang.

“Sudah lama ustadz, ada kali 20 tahunan. Sejak dulu, waktu Dirjen Pajaknya masih Pak Fuad Bawazier”(Sekarang Bapak Fuadz Bawazier menjadi kader salah satu partai tertentu). Rupanya Bapak ini mengenal betul siapa yang menjadi Dirjen Pajak waktu itu, karena seringnya berjualan bukunya ke kantor-kantor pajak.

“Wah, banyak deh orang-orang pajak yang beli buku sama saya. Sekarang sudah pada ‘jadi’.” Kata Bapak itu melanjutkan ceritanya, tanpa saya tanya.
Lalu saya bertanya lagi, “Bapak nggak capek tuh? Terus.., cukup kah hasil dari menjual buku?”
“Yang penting mah saya dapat hidup…, buat makan…, biar orang lain saja yang ‘jadi’ ”. Jawaban Bapak itu spontan. Sepertinya keluar dari lubuk hati yang tulus, yang menunjukkan kesederhanaannya.

“Maaf Pak…, hari ini saya belum beli bukunya ya”. Sebenarnya gak enak juga, tetapi karena anggaran untuk membeli buku tidak ada. Sudah terpakai untuk pengeluaran-pengeluaran lain. Maklum…penerapan anggaran ketat. Penghasilan tetap, pengeluaran tidak tetap…, maksudnya selalu nambah...weleh.

Dalam hati, tidak enak juga kalau membiarkan bapak itu pergi begitu saja.
Sambil saya menyelipkan sedikit uang ke tangan Bapak itu.
Saya berkata, “Buat ongkos di jalan, Pak…”
“Terima kasih ustadz, Assamu’alaikum” Bapak itu pergi meninggalkan saya. Masih terlihat juga cekatan jalannya.

Sambil menjawab salam, dalam hati saya terus berfikir, betapa Bapak tadi memberikan banyak pelajaran yang sangat berharga. Betapa tidak, Bapak yang setua itu masih terus semangat untuk bekerja, halal lagi.

Dan ini menjadi ‘pencerahan’ bagi saya, walaupun Bapak itu bekerja banyak disertai dengan, keringat…, peluh…, panas…. Tetapi tidak tampak di wajahnya keluh kesah, apalagi berputus asa. Sedangkan saya, yang bekerja di kantor, ruangannya ber-AC, fasilitas menunjang. Kadang-kadang masih ada terbesit dalam hati untuk mengeluh. Yang gajinya kurang gedelah, fasilitas kesehatan gak ada., banyak lagi deh. (Makanya kalau mau penghasilan gede jadi Pengusaha dong…jangan jadi karyawan. Atau..dua-duanya, maunya…sih).

Lihatlah hati Bapak itu…, betapa mulianya, sampai-sampai mengatakan “biar orang lain saja yang jadi”. Ini menunjukkan bahwa dia merasa, rezekinya cukup dari menjual buku saja. Dan berharap orang-orang yang membeli dan membaca bukunya itu kelak akan menjadi orang-orang yang ‘jadi’ atau sukses. Sehingga dia ikut juga berkontribusi untuk kesuksesan orang lain, walapun kecil yaitu hanya menjual buku pada orang yang ‘jadi’ tersebut. Kalau boleh diibaratkan, Bapak itu seperti lilin yang membiarkan dirinya terbakar, tetapi memberikan penerangan pada ruangan yang ada di sekitarnya.

Lihatlah lagi, Bapak itu sungguh qona’ah, merasa cukup dengan yang ada, yang penting bisa makan. Bapak itu lebih mengutamakan kepentingan orang lain, dan membuat orang lain menjadi senang. Ini memberikan pelajaran berharga pada diri saya bahwa dalam bekerja itu harus ikhlas. Kalu semua proses sudah dilakukan, dan ternyata hasilnya belum maksimal...bersabarlah. Allah tidak tidur, melihat kita bekerja. Dalam hati saya, tetapi kalau hasilnya maksimal... nah itu semua yang kita inginkan.


Terimah Kasih Bapak Tua Penjual Buku.

Jakarta, 11 Muharam 1432 H
Oleh Abu Fathi

Komentar

  1. kapan-kapan bikin blog yang berbayar mas. Aku dah buat lama, artikelnya ada ambil cerpen mas ama tulisan pa Ifan tapi belum aku conect ke situs apapun.
    http://masharblog-suhariyanto.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Ok. boleh, lagi tertarik bisnis online nih...

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar dengan tetap menjaga kesopanan

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Sepenggal Cinta Murobbiku