Ibuku Wanita yang Sederhana

Wanita berumur, yang selalu bangun pagi, bahkan kadang-kadang mandahului ayam berkokok. Sosok ibu yang selalu aktif bergerak, tidak bisa diam, ada saja yang dikerjakan. Menyapu, membersihkan kamar mandi, atau hanya sekedar memasak air panas untuk mandi cucu-cucunya yang kebetulan sedang berlibur di kampung neneknya.

Itulah ibuku, masih seperti yang dulu, ketika beberapa minggu lalu aku ‘sowan’ ke rumah Ibu di kampung. Tidak ada yang berubah dengan kebiasaan paginya. Hanya mungkin sekarang Ibu harus sendirian mengerjakan itu semua. Dulu, sewaktu Bapak masih hidup dan kami anak-anaknya masih sekolah, mereka berdua pagi-pagi sudah sibuk. Setelah sholat subuh, dan membaca qur’an sebentar, ‘tenggelam’ dengan kenikmatan pekerjaanya. Bapak mulai menyiapkan semua kelengkapan dan bahan usaha pembuatan krupuknya, sementara ibu sebagai ‘sekretaris pribadi’, menyiapkan keperluan dan sarapan untuk anak-anaknya yang akan sekolah.

Dengan kesendiriannya di rumah, setelah kepergian Bapak, ibu masih menyempatkan meneruskan usaha pembuatan krupuk. Dengan dibantu kakak perempuan saya, masih setia pada ‘mbok-mbok bakul’ krupuk yang setiap sore mengambil atau ‘kulakan’ krupuk, kemudian menjualnya di pasar atau di warung-warung. Dengan pertimbangan itu pula, setelah kesepakatan anak-anaknya, Ibu tidak menutup usaha pembuatan krupuk yang telah lama memberi kehidupan pada banyak orang, termasuk para tetangga yang ikut bekerja di pabrik pembuatan krupuk. Sehingga Ibuku sampai saat ini adalah seorang janda tua yang berpenghasilan, seperti Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW.

Walaupun berpenghasilan, Beliau tetaplah wanita yang sederhana, sesederhana pendidikannya yang hanya lulus Sekolah Rakyat, saat itu. Ah…jadi teringat sering Ibu bercerita, bahwa saat itu sebenarnya Beliau termasuk murid yang cukup pandai. Maka, setiap kali Ibu menginginkan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, setiap kali pula oleh Nenek saya disuruh kawin saja. Akhirnya menikahlah dengan seorang pemuda yang lama merantau di Klaten, yaitu Bapakku.

Karena kesederhanaan itu pula, pada saat kami anak-anaknya masih kecil, saat masa sekolah, tidak pernah menyuruh aku dan kakakku untuk belajar. Tetapi ketika kami belajar sendiri, diam-diam Ibu memperhatikan kami dari balik pintu. Walaupun tidak secara langsung menyuruh kami belajar, tetapi Beliau selalu memenuhi kebutuhan belajar kami. Teringat, betapa senangnya kami ketika itu, dibelikan meja belajar lengkap dengan rak bukunya, yang terbuat dari kayu jati.

Boleh jadi Ibu saya seorang wanita desa dengan pendidikan rendah, tetapi terhadap anak-anaknya semua diberikan fasilitas untuk selalu belajar dan melanjutkan jenjang pendidikannya setinggi mungkin. Sehingga sebagian besar anaknya berpendidikan, tetapi tidak untuk berbangga-bangga, begitu pesan Ibu.

Walau Ibu hidup didesa dengan wajah ‘ndeso’, tetapi hatinya kota. Kalau kota itu menggambarkan hiruk pikuk, hingar bingar. Begitu juga hati ibu, penuh dengan gemerlap kesabaran, perhatian, kasih sayang. Memang benar kata para ustadz, yang selama ini aku peroleh di pengajian, adalah fitrah, sunatullah… seorang ibu akan sayang kepada anak-anaknya, apapun kondisi anaknya. Makanya, seorang Ibu terlalu sabar… menghadapi semua tingkah polah anak-anaknya.

Dan aku merasakan itu semua.., setelah aku mulai dewasa, berumah tangga, betapa kasih sayang seorang Ibu kepada anak-anaknya. Dan aku semakin memahami, setelah melihat beratnya istri harus mengurus empat anak-anakku.
Sekarang… Ibu sudah terlihat sepuh, gurat-gurat keriput banyak terlihat di wajahnya yang ‘ndeso’. Apalagi setelah ditinggal Bapak, walaupun sudah lima bulan ditinggal Bapak, masih tampak sisa-sisa kesedihan, sepertinya Ibu sangat kehilangan seorang yang dicintainya.

Aku memang tidak dekat dengan ibu, karena jarak yang memisahkan. Demi mengais kehidupan, aku sekarang berada di Ibu Kota Jakarta. Sementara Ibu adalah wanita desa yang senang dan menikmati suasana pedesaan.

Seringkali aku sedih, tidak berada di dekat Ibu. Sehingga tidak lagi bisa langsung menatap wajah Ibu. Ada keharuan yang luar biasa setiap kali menatap wajah Beliau. Untuk menebus keharuan itu, aku sering sempatkan untuk menelpon Ibu, walau hanya sekedar menanyakan kesehatannya. Atau kadang-kadang anak saya yang aku suruh bicara dengan neneknya.

Semakin mengharu biru, ketika ibu terisak-isak setiap kali aku akan mengakiri pembicaraan melalui telpon. Tetapi terbayar sudah kerinduan itu.
Ibu… maafkan anakmu ini, belum banyak yang aku perbuat untuk Ibu. Bahkan hadir secara fisikpun, jarang kulakukan. Setahun sekalipun belum tentu aku pulang ke kampung. Seringkali banyak alasan sehingga aku selalu menunda-nunda untuk pulang kampung.

Ibu… maafkan anakmu yang ‘kurang ajar’ ini. Aku sangat menyesal, Ibu harus berdiri di Angkutan Umum Kopaja, yang saat itu penuh sesak, sehingga Ibu tidak dapat tempat duduk. Padahal saat itu, Ibu datang ke Jakarta demi wisuda anaknya yang baru lulus dari kuliah.

Ibu… maafkan anakmu yang miskin ini, setiap kali aku akan kembali ke Jakarta selalu saja Ibu memberi uang ‘sangu’, untuk jajan anak-anak saya, katanya. Padahal, anak-anak saya sudah merepotkan selama berlibur di rumah neneknya.

Ibu… maafkan anakmu yang lalai ini, seringkali kali aku terlupa untuk memanjatkan doa-doa untuk Ibu. Dengan alasan sibuk bekerja, mengurus anak-anak, istri, sehingg aku terlupa pada lintasan wajah Ibu.

Aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka, yang lebih mementingkan istrinya dari pada Ibunya, tidak ingin seperti Alqomah, seorang pemuda yang hidup dijaman Nabi Muhammad SAW, ketika akan meninggal tidak bisa mengucap ‘La Ilaha Ilallah’, ternyata ia membuat marah Ibunya karena pemuda itu lebih mementingkan istrinya, walaupun pemuda itu seorang soleh, ahli ibadah. Baru setelah Ibunya memaafkan kesalahannya, pemuda itu meninggal dengan mengucap ‘La Ilaha Ilallah’.

Tetapi aku ingin menjadi seorang anak yang menghormati ibunya, seperti kisah seorang pemuda dijaman sahabat Nabi Muhammad SAW. Pemuda itu rela menggendong ibunya ketika menjalankan ibadah haji, demi membalas semua kebaikan ibunya. Sehingga pemuda itu harus rela bersusah payah menggendong ibunya selama menjalankan ibadah haji.

Jakarta, 23 Juni 2011
(Tulisan ini aku kirim ke Alumni STAN, yang rencananya akan terbit buku tentang Ibu)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku