Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Kegalauan yang Terjawab

Sepekan sudah, hati ini terus berdegub tak beraturan. Semenjak teman SMA-ku, Evi, menyampaikan permintaan anehnya, membuat perasaan ini selalu tidak menentu. Dan uniknya juga, sepertinya mulut ini terkunci rapat, gagu, tidak sampai hati seandainya istri saya harus tahu persoalan yang ada di kepalaku ini. Sehingga itu pula, belum ada keberanian untuk mengungkap kepada kekasih yang telah memberiku 4 orang anak itu. Antara bimbang, galau, ragu, atau apalah namanya yang jelas… cemen, kata anak-anak sekarang. Biasanya…, istri adalah orang pertama yang aku ‘curhati’ ketika banyak sekali masalah yang menggelayuti pikiranku. Tetapi tidak dengan kali ini, sepertinya aku seorang pecundang yang telah kalah sebelum berperang. Atau karena ini menyangkut perasaan wanita, sehingga aku juga tidak tega melukai perasaan wanita. Apalagi wanita yang spesial dihatiku. Ahh… wanita…wanita, ternyata banyak sekali yang aku tidak tahu tentangnya, walau telah 10 tahun lebih aku dekat dengan seorang

Permintaan Evi

”Eh… ini Amin ya…?” Wanita kecil berjilbab putih itu menengok ke belakang, menegurku. Sementara aku, yang merasa tidak mengenalnya, melongo, persis seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Sambil terdiam dengan terus mengingat, siapa sih wanita kecil ini? Kenapa dia tahu nama aku? Kenapa pula ada ditempat ini? “Subhanallah…ini Evi ya…?” Tanyaku dengan ragu-ragu “Iya…, ini Evi, kok Amin ada disini?” “Amin ikut milad juga…?” “Wah…Amin PKS juga to…?” Bangku di depanku banyak akhwat duduk berderet, bahkan hampir memenuhi stadion ini, dengan semua berjilbab putih, ternyata satu diantaranya ada yang mengenalku, yaitu Evi Susilowati. Atas kuasa Allah, dengan masih merasa keheranan, aku dipertemukan dengan teman SMA-ku. Di stadion Gelora Bung Karno, menjadi saksi aku kembali melihat wajah itu, setelah 15 tahun lebih hilang dari ingatanku, walaupun sebenarnya kami sama-sama ada di Jakarta. Tentunya karena kuasa Allah juga, Evi sekarang sudah berubah. Berbusana muslimah, berjil

Ibuku Wanita yang Sederhana

Wanita berumur, yang selalu bangun pagi, bahkan kadang-kadang mandahului ayam berkokok. Sosok ibu yang selalu aktif bergerak, tidak bisa diam, ada saja yang dikerjakan. Menyapu, membersihkan kamar mandi, atau hanya sekedar memasak air panas untuk mandi cucu-cucunya yang kebetulan sedang berlibur di kampung neneknya. Itulah ibuku, masih seperti yang dulu, ketika beberapa minggu lalu aku ‘sowan’ ke rumah Ibu di kampung. Tidak ada yang berubah dengan kebiasaan paginya. Hanya mungkin sekarang Ibu harus sendirian mengerjakan itu semua. Dulu, sewaktu Bapak masih hidup dan kami anak-anaknya masih sekolah, mereka berdua pagi-pagi sudah sibuk. Setelah sholat subuh, dan membaca qur’an sebentar, ‘tenggelam’ dengan kenikmatan pekerjaanya. Bapak mulai menyiapkan semua kelengkapan dan bahan usaha pembuatan krupuknya, sementara ibu sebagai ‘sekretaris pribadi’, menyiapkan keperluan dan sarapan untuk anak-anaknya yang akan sekolah. Dengan kesendiriannya di rumah, setelah kepergian Bapak, i

Belajar dari Om Jono

(Kisah ini saya kirim ke Islamedia, Inspirasi, berharap di publish) Matanya memang tidak bisa melihat, tetapi tidak dengan hatinya. Dialah Om Jono, begitulah aku biasa memanggilnya. Hatinya menyala terang, bahkan sangat terang, Ia tidak mau menjadi peminta-minta, seperti orang-orang buta lainnya yang sering aku lihat di jalan-jalan atau angkutan umum. Tetapi memilih menjadi tukang pijat, pekerjaan yang lebih terhormat katanya, dibanding menjadi pengemis. Aku mengenal Om Jono setelah menikah dengan istriku, bahkan dengan keluarganya ikut hadir saat pernikahanku. Dulu, sewaktu almarhum ayah mertua masih hidup, menjadi tukang pijat langganan ayah mertuaku. Sekarang kebiasaan memijat itu, diteruskan ke menantunya, yaitu aku. Hampir sebulan sekali Ia datang ke rumah untuk memijat. Rasanya hati ini tidak tega, setiap kali Om Jono menelpon, mau datang ke rumah, walaupun kadang-kadang badanku sedang tidak pegal-pegal amat. Om Jono ini orangnya suka bercerita. Disela-sela dal

Lelaki Muharrik Itu Menangis...

(Cerpen ini telah di muat di Islamedia, Sastra Islami) Lelaki di depanku itu tertunduk lesu, lemas, tatapan matanya kosong, sepertinya berat sekali beban yang menggelayuti pikirannya. Lelaki yang gagah, Lelaki yang biasa menghadapi kerasnya merintis usaha…kok tiba-tiba jadi cengeng gini….wah, ada apa ini? ……………… Adalah Andi, binaanku dalam halaqoh. Sudah sekitar lima tahun, aku berinteraksi dengannya. Selama itu pula aku tahu, Ia adalah ikhwan yang tangguh, muharrik, dan termasuk kader terbaik dalam halaqohku. Tidak seperti Murobbi-nya yang sok lucu, suka mbayol… Tetapi ternyata tidak terjadi pada kali ini, anomali Andi yang biasa ceria. Menampakkan wajah yang serius, seserius seorang pelajar SMU yang sedang ujian akhir. Walah… kok jadi ngomongin anak sekolah? Padahal beberapa saat sebelumnya, ketika masih ada beberapa ikhwah lainnya, ia terlihat seperti biasanya…ceria. Bukan iklan mobil Daihatsu Ceria lho… “Afwan ustadz…, ada yang perlu ana sampaikan…” “Ana minta w

Ayahku Seorang Pekerja Keras

Aku tidak tahu sejak kapan ayahku ini merantau ke Pulau Jawa. Aku juga tidak tahu, ternyata bahwa aku bukan anak asli daerah ini, yang menjadi tempat tinggal keluargaku saat ini. Bahkan aku lebih fasih menggunakan bahasa jawa, dibanding bahasa asli dari daerah asalku, yaitu bahasa Sunda. Aku tahu kalau ayahku seorang perantau, setelah aku kira-kira berada di bangku sekolah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mungkin karena waktu SMP itu sudah bisa berfikir kali ya…? Bahwa saat SMP itu, ketika sedang berkumpul dan bercanda dengan teman-teman, seringkali menyebut-nyebut nama bapaknya. Tetapi tidak untuk bermaksud mengolok-olok, hanya bercanda saja. “Hey…cah mbandungan…” begitu seringkali teman-teman di rumah atau disekolah menjuluki aku sebagai ‘cah mbandungan’. Aku juga tidak tahu sebabnya, kenapa disebut itu, mungkin karena asalku dari dataran Sunda, dan teman-teman menganggap bahwa semua yang datangnya dari Sunda itu Bandung, logat orang jawa jadi mbandung…, he…he…lucu juga ya.

Sakitnya Hati Seorang Pasien

Hati istrinya membuncah, sakit yang terperi, bagai tersirat sembilu, tetapi untungnya Ia bisa menahan emosi itu, sehingga tidak tampak wajahnya yang kesal. Bahkan sepertinya Ia wanita yang tegar, tidak cengeng, dan tidak mau menampakkan muka yang ‘kecewa’ di depan seorang dokter wanita yang sedang memeriksanya. Walaupun sebenarnnya bisa saja marah, bahkan haknya sebagai seorang pasien yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang baik. Tetapi Ia tahan itu semua. Itulah perasaan istri temanku, yang Ia tumpahkan semua ‘kekesalannya’ pada suaminya, yang kebetulan tidak mendampingi saat istrinya memeriksakan kandungannya. Tetapi justru di depan Suaminyalah Ia tidak lagi menjadi wanita yang tegar. Sehingga sifat asli kewanitaanya keluar, Ia sesenggukan di depan suaminya. Menangis sepuasnya… Untungnya juga, istrinya mempunyai seorang suami yang tangguh. Sehingga suaminyalah yang selalu membesarkan hati istrinya untuk tetap bersabar. Karena, hanya dengan sabar dan terus berik

Askes…Oh Akes…

Setelah sehari menginap di kamar perawatan kelas II, aku memtuskan untuk minta pindah ke kelas I, dan sukses, tidak lama menunggu, dapatlah kamar perawatan kelas I. Istriku harus dirawat dulu, tidak langsung dioperasi, karena penyakit asmanya sedang kambuh, kandungan oksigen dalam darahnya rendah, sehingga kalau harus dibius sebelum operasi akan berakibat buruk. Setelah dirawat selama tiga hari, oleh rujukan dokter, pagi ini istriku sudah bisa dioperasi. Tetapi tiba-tiba ada telepon masuk, diruang perawatan istriku, mencari aku. Aku berlari-lari meninggalkan ruangan tempat istriku sedang dirawat. Tergopoh-gopoh aku memasuki ruangan di salah satu rumah sakit negeri terbesar yang ada di kota Jakarta. Sudah ada seorang perempuan cantik menyambutku, yang aku tebak mungkin petugas adminstrasi. “Maaf…, benar ini bapak Agus…?” Tanya wanita cantik itu yang ternyata bernama Dina. “Ya…, benar saya Agus, saya suami ibu Husna.” “Begini pak Agus…ada yang mau saya sampaikan ke Bapak…”

Rumah Sakit yang ‘Komersil’

Hari itu Kamis tanggal 13 Januari 2011, ketika masih ada di kantor, saya mendapat telpon dari Kakak di kampung, yang menyampaikan berita bahwa, Bapak meninggal dunia. Maka saya harus pulang kampung saat itu juga. Setelah minta izin pada atasan di kantor, secepat kilat saya pacu motorku pulang ke rumah. Sesampai di rumah, sudah banyak Saudara berkumpul, ikut berduka cita. Segera istri saya menyiapkan semua perlengkapan. Agar masih bisa melihat jenazah Bapak, saya harus pulang dengan pesawat. Sementara istri dan anak-anak saya menggunakan mobil pribadi. Anak saya yang pertama, ‘Afaf, kelas 4 SD, merengek menangis, ngotot untuk minta ikut bersama istri saya pulang ke kampung, rumah neneknya. Padahal sebenarnya sudah 2 hari sebelumnya tidak masuk sekolah, karena badannya panas tinggi. Memang belum saya bawa ke dokter, karena rencananya kalau tiga hari panas badan anak saya belum turun juga, maka akan saya bawa ke dokter, sekaligus cek darahnya di laboratorium. Keesokan hari

Cinta itu dirasakan, bukan dipikirkan…

Banyak orang mengatakan cinta itu sulit ditebak, Ia bagaikan kupu-kupu yang cantik, indah bulunya, terbang kesana kemari, mengelilingi kita. Memikat dan menarik hati kita untuk berusaha menangkapnya. Saat kita menginginkan cinta itu dalam genggaman, tetapi ia malah terbang menjauh. Namun saat kita tidak mengharapkan, cinta hadir tanpa diundang. Kita pun tidak bisa memaksa cinta sekehendak hati kita. Memang cinta adalah fenomena hati yang sulit dimengerti. Sebenarnya kita tidak harus perlu memeras otak lebih keras, untuk memahami cinta. Bahkan semakin keras kita memikirkan cinta, semakin lelah kita. Sebab cinta adalah untuk dirasakan, bukan dipikirkan. Yakinlah bahwa cinta yang kita inginkan, akan datang pada waktunya, pada saat yang tepat. Bukan berarti kita harus menunggu cinta itu datang? Cinta itu dirasakan, bukan dipikirkan… Pasangan suami istri misalnya, janganlah banyak berharap cinta itu akan datang dengan sendirinya dari pasangan-pasangan kita. Seorang suam

“Hadiahnya adalah… Antum harus rajin LIQO’…”

“Afwan Pak, sy gak bisa hadir…” Itulah kalimat yang sering aku baca di inbox HP-ku. Atau kadang juga melalui chatting di Facebook , binaan saya ini seringkali tidak bisa hadir dalam pertemuan pekanan halaqoh . Padahal sebenarnya, teman-teman liqo’ yang lain sudah berusaha menyesuaikan waktu luang yang kira-kira akh ini bisa hadir setiap kali ada pertemuan. Akan tetapi ternyata, ketika sudah disepakati hari Ahad pagi misalnya, tidak bisa hadir juga dengan berbagai alasan. Memang akh ini hari kerjanya termasuk hari Ahad, belum lagi malamnya Senin sampai Jum’at kuliah. Tetapi apakah sepagi itu jam kerjanya, sehingga ketika pertemuan direncanakan Ahad pagi ba’da shubuh pun, tidak bisa hadir juga. Karena seringnya akh ini tidak hadir dalam pertemuan liqo’ pekanan, sehingga kurang juga berinterkasi dengan teman-teman liqo’ lainnya, termasuk jarang juga ikut kegiata-kegiatan ‘amal jama’i sewaktu ada kegiatan di jama’ah ini. Ketika diberi penugasan untuk kultum, atau be

10 (Sepuluh) Vs 1 (Satu)…

Saudaraku… Ketika kita melakukan suatu aktifitas, biasanya dimulai dari niat. Niat itu adanya di dalam hati, tidak selalu harus dilafadzkan . Karena adanya di dalam hati, ia bisa berupa 'bisikan-bisikan' yang tidak terucap, tetapi mengiang keras di telinga kita. Niat sering menjelama menjadi berupa dorongan-dorongan semangat, sehingga setelah diperintah oleh otak dan pikiran, kemudian anggota badan kita merespon dengan melakukan suatu gerakan atau tindakan. Tindakan inilah yang kemudian disebut dengan amalan. Karena ia mengamalkan apa yang ‘dibisikkan’ di dalam hati. Nah, ketika amalan yang dilakukan itu adalah suatu kebaikan karena memang hati itu banyak dipenuhi dengan ‘bisikan-bisikan’ yang baik. Begitu juga sebaliknya, kalau hati itu dipenuhi oleh ‘bisikan-bisikan’ yang kotor, maka anggota badan ini akan juga melakukan amalan yang buruk. Makanya perbanyaklah ‘bisikan-bisikan’ didalam hati itu suatu kebaikan, agar setiap amalan yang kita lakukan adalah suatu

Cemburu

(hanya CERPEN, dimuat di Islamedia.web.id 17 Feb 2011) Samar-samar sebuah suara mengusik tidur lelaki itu. Melalui celah gendang telinga, suara itu menerobos perlahan membawa dari alam mimpi pada keterjagaan. Tetapi kantuknya masih tak tertahan, sehingga matanya masih menggelayut terpejam. Tak ingin Ia hiraukan samar-samar suara itu, tetapi semakin terang dalam keterjagaan telinganya sekarang. “Rizal… Rizal… “ Tiba-tiba saja matanya mengerjap, terjaga dengan begitu cepat. Kantuknya cepat-cepat meninggalkannya. Salahkah Ia mendengar? Mimpikah? Sambil menggoyang-goyangkan kepalanya, dia amati wajah ikhlas pemilik suara tadi. Lelaki itu tidak sedang bermimpi. “Rizal… “ Nama itu kembali terucap dari bibir wanita di sampingnya. Begitu lirih…, begitu dalam…, begitu…, ah tak mampu Ia menggambarkannya. Lelaki itu tercekat, nafasnya berdegup kencang, dadanya teramat sesak. Seakan bumi itu runtuh menimpanya. Seperitnya rasa sakit begitu menjajah hatinya. Sakit, sakit, saki

Azzam Menjadi Pengusaha...

Ahad pagi, 6 Februari 2011, aku sengaja mengajak istriku untuk hadir mengikuti seminar tentang cara mudah, cepat, dan aman menjadi pengusaha yang diadakan oleh Komunitas TDA tangandiatas Bintang Selatan. Mungkin ini merupakan kesempatan yang pertama, aku menghadiri suatu seminar berbayar berdua dengan istriku. Awalnya aku hanya ingin sendiri saja, ingin mengetahui seperti apa sih seminar ini? Tetapi diluar dugaan, istriku berminat juga dan cukup antusias untuk bisa ikut, ketika aku sampaikan bahwa akan ada seminar ini. Kenapa demikian… Saat ini aku sedang tertarik dengan usaha, entah mengapa ada keinginan yang kuat dalam diriku bahwa suatu saat nanti aku juga akan bisa menjadi seorang pengusaha. Mengapa Pengusaha? Karena menurut saya pengusaha itu adalah orang yang melakukan usaha, usaha apa saja. Jadi tidak harus menjadi seperti Yusuf Kalla, misalnya atau Chairul Tanjung. Yang penting cukup untuk memberi pelajaran pada anak-anak saya nanti, bahwa adalah keutamaan seseorang

Surat Untuk Istriku…

Abi bersedih Umi…, ketika melihat diri ini yang tidak bisa menemani Umi dan anak-anak sibuk untuk mempersiapkan segala keperluan sekolahnya. Karena Abi harus berangkat pagi, demi untuk sejumput rezeki . Maka bersabarlah wahai istriku…, kelelahan disetiap pagi hari itu semoga selalu menjadi saksi diakhirat kelak ketika engkau ikhlas… Abi sungguh bersedih Umi…, ketika tidak bisa mendampingi anak-anak belajar mengeja huruf-huruf Alqur’an sehabis sholat maghrib, karena Abi masih harus berjibaku dengan kemacetan dijalan. Ingin sekali memandikan sore mereka, kemudian mengajaknya sholat maghrib berjama’ah… Abi terus bersedih Umi…, tiap malam Umi yang selalu menemani anak-anak bahkan sampai harus tidur paling larut, karena menunggu anak-anak tidur. Sementara Abi pun terpejam matanya lebih dulu, dengan alasan capek seharian bekerja… Abi sungguh bersedih Umi…, seringkali mulut ini mengeluarkan kata-kata yang itu akan membuat hati Umi bersedih sampai harus mengeluarkan air mata. Sungguh

Husna Esmiralda

Husna Esmiralda Engkau adalah kekasihku… Sehingga engkaulah orang yang paling berhak untuk mendapatkan kasih sayangku. Sehingga setiap hembusan nafas ini adalah dalam rangka mengukuhkan kasih sayang itu. Engkau adalah anugerah yang Allah berikan untukku. Sehingga ketika Allah nanti meminta pertanggung jawaban atas anugerah itu maka, engkau akan bersaksi bahwa aku telah berusaha menjadi sebaik-baiknya penjaga anugerah itu. Engkau adalah Istriku… Karena sebaik-baik seorang Suami adalah yang paling baik terhadap istrinya, maka aku adalah Suami yang akan berusaha memberikan pelayananan terbaik bagimu. Bukankah pemimpin adalah pelayan bagi kaumnya? Engkau telah melahirkan dari rahimmu yang mulia, empat generasi terbaikku. Semoga Allah memberikan keberkahan atas semua kelelahan yang engkau alami selama itu. Mengandung…, rasa mual…, begah…, sesak…, tidak nyeyak tidur…, membawa kandungan kemanapun pergi. Lalu melahirkan…, memperataruhkan nyawa…, menyusui…, malam terbangun. A

Aku Menyesal…Tetapi Aku Tidak Menyesal

Seringkali aku acuh atas permintaan ibuku, ketika aku menelpon menanyakan kabar Beliau di kampung, setiap itu pula Ibuku sering bertanya kok lama nggak nelpon? Kamu nggak pengin pulang? Atau pulang nanti menunggu Ibumu nggak ada? Deg…hati ini begitu trenyuh setiap kali Ibu berkata seperti itu. Tetapi memang aku termasuk jarang sekali pulang ke kampung menengok orang tua, termasuk setiap hari Raya Idhul Fitri pun aku juga tidak pulang. Banyak sekali alasan sehingga seringkali aku menunda tidak pulang kampung saat hari raya. Yang repotlah bawa anak-anak masih kecil, perjalanan yang macet, yang tidak punya ongkoslah, atau karena nggak dapat cuti dari kantor. Semua alasan itu aku pakai sebagai pembenaran saja, sehingga momen hari raya seringkali aku tidak dapatkan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tuaku, momen hari rayapun sering lewat untuk bersimpuh dihadapan mereka untuk meminta maaf, atau juga bermaaf-maafan dengan saudara-saudara yang lain. Kalaupun pulang kampung biasan