Postingan

Menunda Kesenangan

Menunda Kesenangan Ketika kecil dulu, berangan-angan ingin cepat dewasa, punya istri cantik, uang banyak, bisa membeli apa yang diinginkan.  Ternyata, sampai hari ini, angan-angan waktu kecil itu tidak ada.  Saya merasa semakin dewasa, semakin tidak ada waktu untuk bersenang-senang seperti anak kecil. Seiring bertambahnya umur, semakin banyak kewajiban kita yang harus ditunaikan. Harus bekerja, mencari nafkah adalah kewajiban sampai akhir hayat,  urusan-urusan domestik rumah tangga, silih berganti mengiringi perjalanan hidup. Menjadi dewasa, punya istri, sebagai ayah dari anak-anak, semakin waktu ini habis untuk menunaikan semua kewajiban itu. Sewaktu masih kecil, hanya kesenangan, memuaskan keinginan, tidak ada tanggung jawab.  Setelah dewasa, ingin memenuhi kesenangan sebentar saja, harus sering tertunda, memilih untuk mengutamakan ‘kesenangan’ istri dan anak-anak. Kini, tidak ada kamus mencari kesenangan pribadi, paling tidur, makan, itulah kesenangan pribadi, selebihn

Satu Tahap Terjalani

Satu tahap terjalani Sebagai orang tua, pengalaman ini baru pertama. Ya, betapa ini menjadi momen yang tidak aku lupakan.  Malam itu, hari ke-4 lebaran 1444 H.  Ayah yang punya anak gadis, cantik pula, kita kedatangan tamu, anak muda gagah, dan good looking . “Kok, kawanmu sering nemuin kamu, kadang jemput dari kampus, tapi tidak pernah temui aku”  Sebagai Ibu, nalurinya tidak ridho, anak gadisnya di ‘incar’ tapi tidak ‘permisi’ pada Ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya. “Dimana adab sebagai pemuda muslim?” Uneg-uneg inilah yang disering disampaikan Umi ke anak gadisnya. Sekian lama, Ia memenuhi janjinya, datang ke rumah. Setelah sebelumnya kirim DM via IG Uminya, akan datang ke rumah, ngobrol tentang ‘kelanjutan hubungan’ dengan anak gadisnya. Pas waktu sholat maghrib, Ia datang ke rumah, bersamaan aku jadi Imam di masjid.  Selesai sholat sunnah, aku pulang.  Masuk rumah, ada motornya, tapi tidak orangnya. Sebelum masuk rumah, Istri tanya, “Tidak ketemu Naufa

Satu Takdirku

  Aku sekarang sedang menjalani satu takdir, yaitu hidup sendiri, jauh dari keluarga. Berjuang mencari nafkah, demi mencukupi kebutuhan anak dan istri.   Kalau lagi sakit sendirian pula. Ah… Ini kalimat biasa sebenarnya, bukan istimewa.   Karena menafkahi anak dan istri itu kewajiban bagi seorang Suami.   Yang namanya kewajiban itu harus ditunaikan, kalau tidak dikerjakan berdosa.   Kalau seorang Suami tidak mau dan tidak bisa menafkahi keluarganya, Dia berdosa.   Nikmat dan sakit, silih berganti, selalu ada dalam kehidupan. Makanya kalau lagi dikasih sakit, biasa aja Bos…tidak perlu mengeluh, tidak juga berlebih-lebihan, seolah-olah yang paling menderita di dunia ini.   Sudah berjuanglah…jauh dari keluargalah…sakit sendirianlah… Jalanin aja, titik.   Katanya takdir, terimalah sambil terus bersabar ketika menerima takdir yang tidak enak. Tidak enaknya apa? Jauh dari keluarga…itu juga sebentar aja kok. Bisa jadi ini pilihan terbaik buat kita.   Barangkali itu cara Allah yang terba

Memaknai Kesendirian

  Memaknai kesendirian… Aku saat ini sendirian di kamar.   Ruangan seluas 4x5m2 ini sudah menemaniku hampir 2 tahun. Dinding dengan cat kuning yang sudah pudar, seolah sudah menyatu dengan tatapan mataku.   Karena setiap akan tidur, seolah sekililing dinding itu menatapku. Kalau ruangan gelap, dinding itu sedikit memantulkan cahaya dari luar.   Hampir semua perabot di kamarku sudah berumur, ada cermin yang menempel didinding dengan plester hitam, agar retaknya tidak melebar.   Lalu meja dan kursi kayu yang mulai rapuh, tapi ini yang sehari-hari aku pakai menuangkan uneg-unegku di layar laptop (baterainya rusak). Ah ada sih yang yang baru, lemari plastik tempat aku menyimpan pakaian, kasur busa dan bantal gulingnya, baru aku beli saat mulai menempati kamar ini. Lantai kamar cukup dingin, untung ada kapet merah dilantai, sehingga anget.   Lainnya ada gantungan baju, rak sepatu, keranjang baju kotor, dan keranjang sampah, semua setia mendengar rintihan kesepianku.   Dan terakhir A

50 Tahun

  Sudah 50 tahun aku menjalani hidup.   Prestasi apa yang sudah aku buat?   Amalan apa yang bisa aku banggakan ketika nanti di tanya di alam kubur? Sudah seberapa baik menjalani peran-peran di dunia? Masih banyak lagi pertanyaan semisal itu… baru beberapa saja. Memang kita tidak tahu apa yang terjadi besok? Tugas kita adalah menjalani hari ini sebaik-baiknya.   Bukankah kita sebenarnya adalah kumpulan hari-hari yang sudah dilalui? Maka, kalau tiap harinya menjalani dengan baik, Insya Allah umur kita adalah kebaikan, dan semoga berkah.   Tapi apakah sudah seperti itu realisasinya? Kita flashback yuk… Kita menanggung sebagai mukhalaf (dikenai tanggung jawab, dihitung amal dan dosanya), saat kita baligh. Taruhlah umur 14 tahun, sekarang umur 50, sudah 36 tahun kita menjalani hidup di dunia.   Kalau sehari tidur 6-8 jam, berarti 1/3 umur kita hanya buat tidur dan itu tidak bernilai apa-apa. Coba bayangkan, 21 tahun kita tidur dan tidak ada amalan disitu. Lalu   29 tahunnya kita gu

Kebiasaan Baru

  Di luar hujan gerimis, menambah dingin cuaca, tapi tidak di ruanganku, aku menulis untuk mengikat momen.   Agar suatu saat bisa dibaca oleh anak-anakku.   Bahwa mereka belajar hidup dari pengalaman orang tuanya. Karena aku jauh dari keluarga, banyak waktuku sendiri, ada satu kegiatan baru yang aku lakukan.   Saat ini aku sedang belajar desain, untuk konten instagram, dengan menggunakan aplikasi Canva.   Sebelumnya aku buta tentang membuat desain ini, sekarang sedikit banyak sudah bisa. Memang bukan hal yang luar biasa, tetapi minimal aku banyak mencari isi konten Instragram dari quran dan hadist, karena sekarang aku punya akun IG islami, namanya @IslamicMovement2022 dan @IslamicTalent2022.   Dua akun ini, aku manfaatkan untuk meramaikan konten-konten IG Islami lainnya. Berawal dari Istri yang sebelumnya sudah punya akun IG Islami (@Islamic_Realstraight).   Kemudian istri memberi saran aku, untuk membuat akun IG islami juga.   Awal Maret 2022 aku membuat akun itu, dari yang sebe

TEKANAN DARAH TINGGI

  Jam menunjukkan pukul 20.30, udara malam diluar agak panas, suara motor di jalan bising terdengar sekali-sekali, saya sendirian di kamar.   Mata terkantuk, maklum baru sampai tadi subuh perjalanan darat dari Jakarta, tetapi aku paksakan menulis. Siang tadi aku periksa dokter, tensiku tinggi 170/110… Subhanallah.   Dikasih obat penurun tensi. Selama kerja di lain kota, tensi cenderung tinggi.   Dua tahun yang lalu, saat masih di Jakarta, aku sering donor darah, artinya tensiku normal, karena tensi maksimal 150/90 boleh donor. Aku belum tahu penyebabnya tensiku tinggi, karena genetik kah? gak tahu juga, faktanya adik dan kakakku juga tinggi.   Atau gara-gara aku kerja jauh dari keluarga? sehingga banyak fikiran, gak tahu juga. Aku merasa, akhir-akhir ini semangatku beraktifitas turun. Kerja datar, makan cenderung kurang nafsu, sering melamun, fikiran menggelayut, banyak yang perlu diselesaikan.   Tidak seperti awal-awal aku di kota ini. Semangat membara… tapi setelah 2 tahun. Ya