Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2012

Dari Preman Menjadi Beriman

(kisah nyata) Aku mempunyai seorang teman, Wisnu namanya. Ia teman akrab waktu aku duduk di bangku SMP. Waktu sekolah di SMP Ia tinggal bersama Kakeknya, sementara orang tuanya berada di kota lain, sekitar 45 km dari tempat tinggal Kakeknya. Aku pernah menginap di rumah orang tuanya, rumahnya cukup besar. Ayahnya seorang Lurah, sehingga cukup dipandang oleh penduduk sekitar. Aku tahu persis kelakuan Wisnu, boleh aku bilang termasuk anak yang ‘nakal’ waktu itu. Sikapnya yang cenderung pendiam, ternyata menyimpan sifat ‘urakan’. Tidak jarang Wisnu membuat ulah di kelas atau di sekolah, bahkan pernah di hukum ‘dijemur’ waktu upacara, karena rambutnya yang gondrong. Tetapi, senakal-nakalnya Wisnu, Ia termasuk anak yang solider dengan teman-teman. Baik sesama teman, Wisnu juga jarang mengganggu anak-anak wanita. Selepas SMP, aku tidak pernah lagi bertemu, karena kami berlainan sekolah. Tetapi beberapa pekan yang lalu aku ketemu Wisnu, dan ini pertemuan kedua setelah le

Lelaki yang Beruntung

(Cerpen, dimuat di Islamedia) Lelaki itu tergopoh-gopoh memasukkan motornya ke halaman rumah. Badanya basah kuyup. Sebelumnya, Ia harus rela berhujan-hujan pulang dari kantornya. Sebuah jas hujan lusuh setia menemaninya di atas motor dikala hujan datang. Seperti juga sore itu, Ia harus segera pulang. Rasanya hati Lelaki itu tidak tenang, karena harus meninggalkan istrinya di rumah. Sebab hari itu istrinya sedang tidak sehat. “Assalamu’alaikum…” Lelaki itu memasuki rumahnya, dengan senyumnya yang lebar tentunya. Karena dia ingin menampakkan wajah yang ceria di depan istrinya. Agar istrinya selalu terhibur atas kehadirannya. Dengan baju cukup basah, karena hujannya memang deras, jas hujan lusuh itu tidak sempurna juga menahan air hujan, sehingga air hujan masih bisa tembus, membuat baju yang dipakai Lelaki itu basah. “Wa’alaikumussalam…” “Wah, Abi kehujanan ya… biar Umi masakin air panas, buat mandi…” “Gak usah Mi…biar Abi mandi air dingin saja…” Lelaki itu senga

Kesungguhan Sang Putra

(kisah, dimuat di Islamedia) “Ya Allah.. Tlg lancarknlah sgala urusan ku.. Sm0ga slama 4 tahun aku kuliah ,, aku dapat melaksanakan sgala tata tertib nya dengan baik ya Allah .. Amiiinn ...” “Perjalanan panjang ..” “Jadwal pagi ni. Bangun pagi, Siap" Tahajudan, Sholat Shubuh, Brangkt Ospek” “Perjuangan demi Kesuksesan dimasa depan .. Amiin.” “SEBI is The Best !!!” “SEBI is School Of Islamic Economics ..” “Allahu Akbar !!! Tegakkanlah Islam !!!” Itulah kata-kata yang ditulis di akun Facebook-nya. Beberapa hari terakhir ini aku sengaja mengikuti. Sepertinya curahan hati yang dalam, penuh makna, menunjukkan suasana kesungguhan. Akupun yang membacanya seakan terbawa emosi, seakan ikut larut pada suasana hatinya. Sebab selama ini aku tahu persis, kondisi seorang Nurahman Saputra (Putra). Ia anak muda seperti kebanyakan, setelah lulus SMU ingin melanjutkan ke jenjang kuliah. Tetapi tidak dengan perjuangan untuk kebutuhan biaya sekolahnya. Terutama Ibunya

Sepenggal Cinta Murobbiku

(kisah, dimuat di Islamedia) Baru saja Sang Suami tiba di kantor, pagi itu Ia harus menggunakan motor yang biasa di pakai oleh istrinya. Karena motor yang biasa dipakai Suami sedang ngambek, mogok gak mau jalan. Padahal hari itu adalah jadwal Istrinya untuk berobat ke Dokter, yaitu cek darah di Laboratorium. Pekan lalu sang istri oleh Dokter, didiagnosa menderita ‘syaraf kejepit’ di kedua tangannya. Dan harus melakukan serangkaian pemeriksaan, yaitu cek darah dan MRI. Kalau diperlukan, mungkin harus dengan tindakan operasi . Alhamdulillah…, hebatnya sang istri tidak pernah merasa itu sebagai ‘cobaan’, situasi yang susah, justru sebaliknya sehingga dengan tetap semangat. Dengan naik ojeg sekalipun Ia menjalani rangkaian pemeriksaan itu. Sepertinya sudah terbiasa sang istri menghadapi itu. Ketika sedang asyik, menyiapkan berkas-berkas pekerjaan kantornya, tiba-tiba bunyi SMS masuk di HP sang Suami. Tet…tet…tet… Segera sang Suami, membuka Inbox di HP-nya. Ternyata SMS d

Aku (Masih) Berani Berdiri

(Kisah, kirim ke Buku Berkah 2) Aku biasa mengajar pelatihan brevet pajak, seringnya hari Sabtu. Dalam dua bulan, tiap Sabtu, biasa aku mengajar materi KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Ada pengajar lain, untuk materi lainnya. Setiap satu kelas pelatihan, selesai dalam waktu lima bulan. Sehingga tiap tahun biasanya aku mengajar untuk dua kelas, kadang-kadang kalau lagi ramai peminat, bisa sampai empat kelas, pagi dan siang. Dengan sepeda motor, biasa aku tempuh perjalanan ke Depok, di sebuah Universitas ternama di Negeri ini. Tetapi sudah hampir dua bulan, motor kesayanganku nganggur tiap Sabtu, hampir dua bulan ini belum ada jadwal mengajar untuk aku. Padahal biasanya, bulan-bulan ini ada kelas baru. Dan kebetulan juga, bulan sebelumnya sedang ramai-ramainya pemberitaan Gayus. Bahkan sampai saat itu pun, masih hangat beritanya. Seorang pegawai pajak terduga korupsi, yang tertangkap ketika melarikan ke Singapura. Karena peristiwa tertangkapnya Gayus itu,

Harapan Itu Masih Ada

(Cerpen, dimuat di Islamedia) Entah mengapa, beberapa pekan ini hatiku berbunga-bunga. Ibarat pohon bertunas kembali, setelah lama meranggas dimusim kemarau. Wuih… indah sekali rasanya. Seperti anak ABG saja… padahal dah ada dua buntut ya… Emang ABG saja yang boleh jatuh hati? Siapa saja boleh, karena sesungguhnya ‘jatuh hati’ itu adalah hak setiap makhluk… Lho kok jadi puitis begini ya… Semenjak pertemuan itu, sepertinya banyak berubah dalam diriku. Yang jelas, jadi lebih bersemangat menjalani keseharianku. Apalagi di pagi hari, saat bangun tidur, untuk sholat subuh. Aku sering berlama-lama melihat anak-anak yang masih terlelap. Membayangkan suatu saat, akan ada sosok laki-laki dewasa, yang sedang bercanda dengan mereka, menggendong mereka, berjalan bersama, mengantar sekolah. Ah… bayangan-bayangan itu sering membuat aku tersenyum sendiri. Ibuku pun sering terheran-heran, melihat perubahanku akhir-akhir ini. Termasuk pagi ini, ketika kami sarapan bersama. Ibuku sen

Aku Jatuh Hati (Lagi)

(Cerpen, dimuat di Islamedia) Aku adalah Evi. Bukan siapa-siapa, bukan pula artis, yang ketika setiap disebut namanya, akan banyak orang mengenal. Tetapi aku hanya wanita kebanyakan, atau tepatnya seorang ummahat yang telah dikaruniai oleh Allah SWT dua jundi yang imut dan menggemaskan, itu menurut aku. Anak-anaknya imut, karena Umminya juga imut. Walau imut, aku orang yang tidak bisa duduk manis, berusaha untuk bergerak, apa saja yang bisa kukerjakan, akan aku kerjakan. Adalah bukan kebetulan, sampai saat ini aku masih mengaji di halaqoh tarbiyah, cukup lama memang. Sehingga banyak teman-teman, dengan bergurau, sering menyebutku sebagai ummahat qowwi, karena saking lamanya. Walaupun tidak aktif-aktif amat, tetapi aku selalu berusaha untuk hadir setiap halaqoh pekanan. Karena telah ‘terpatri di dadaku’ sudah menjadi menjadi ‘kewajiban’ lain, yang harus aku tunaikan. Mengajar adalah hobiku, sehingga selain sebagai ummahat, aku juga seorang dosen. Maka, harap maklum, t

Es Cendol Bandung ‘Esmiralda’

(Artikel, kirim ke Buku Berkah 2) Peristiwa Gayus di tahun 2010 itu menggemparkan hampir seluruh permukaan bumi Indonesia. Beritanya tiap hari memenuhi media masa. Mayoritas setasiun TV juga meliput kejadian itu. Sehingga menjadi bahan pembicaraan setiap orang, termasuk orang-orang di kampung sekalipun. Adalah Bapakku, aku tahu persis kebiasaan Beliau sejak lama. Membaca adalah sepertinya menjadi kewajiban. Sehingga meja di ruangan tamu selalu dipenuhi tumpukan koran. Bisa jadi ada 2 atau 3 koran yang berbeda yang Beliau baca. Setiap pagi, setelah sarapan, menjadi kebiasaan Bapak membaca koran. Apa saja berita yang menarik Beliau baca, termasuk peristiwa Gayus ini. Ternyata dari berita itu, semakin diberitakan semakin membuat gundah hati Bapak. Karena salah satu anaknya, yaitu aku, bekerja juga di instansi yang sama dengan Gayus. Bapak gundah karena mengkuatirkan aku, apakah anaknya akan ditangkap juga seperti Gayus? Apakah aku adalah termasuk pegawai yang curang? ya

Titik Balik

(Cerpen, dimuat di Islamedia) Segelas teh hangat membuat badanku makin berkeringat . Membuat segar tubuh ini. Sesegar wajah istriku. Setelah membuka sepatu, aku duduk di kursi teras. Sepertinya istri sudah menyiapkan. Sengaja Ia ingin berlama-lama mengajak ngobrol aku. Sambil duduk manis disampingku, dengan arah muka yang sejajar, istri tidak ingin menatap wajah aku. Membuat aku jadi kikuk, grogi, atau gugup. Ahh… jadi teringat saat ta’aruf dulu. Tiba-tiba Ia melanjutkan pembicaraan. “Alhamdulillah…, beruntung aku jadi istri Abi…” “Coba, kalau nggak… “ “Pasti orang lain yang jadi istri Abi…” Itulah kalimat pujian istriku, tentu masih dengan senyum ‘kemenangannya’. Kemenangan tidak mungkin aku menerima lamaran Evi. Kemenangan istri lebih dulu menikah denganku. Sementara aku, masih tergugu dibuatnya, belum mau keluar sepatah kata pun dari mulut ini. Seperti tersihir oleh euphoria kemenangan istri. Persis seperti seorang mad’u yang tersihir oleh taujih Murobbinya.