Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Aku Tertinggal Rombongan

  Saat rukun haji, lontar jamarot, kami satu rombongan KBIH Labbaik, sudah persiapan sebelumnya.   Bagi yang sehat, maka semua harus berangkat, tidak ada yang dibadalkan.   Jarak antara tenda tempat kami menginap di Mina, dengan tempat jumroh, sekitar 4 km.   Jadi pulang pergi ya 8 km.   Dengan berjalan kaki mungkin butuh waktu 3-4 jam pulang pergi. Dengan berjalan kaki,   kami satu rombongan beriringan.   Masing-masing memperhatikan kanan kirinya, tidak boleh ada yang terlepas.   Agar tidak tercecer,   maka dibuat bendera KBIH, yang dipasang diatas tongkat, di bawa oleh Ketua Rombongan.   Setiap jamaah juga menggunakan syal warna orange, agar mudah menandainya.   Sengaja, rombongan kami mengambil waktu sesuai jadwal yang sudah ditentukan, untuk jamaah Indonesia, katanya jadwal tersebut tidak berbarengan dengan jamaah Afrika yang tinggi-tinggi, sehingga tidak terlalu berdesak-desakan. Rombongan Wanita ada di depan, termasuk istriku, tidak berdekatan denganku, sengaja di depan den

Abang Tidak Naik Kelas

  Waktu itu tahun 2019, Abang Haqi kelas 2 di SMP IT Baitul Maal.   Pas hari pembagian raport, kami selaku orang tua diminta hadir, menemui Kepala Sekolah. Di dampingi guru wali kelas, Pak Hasyim, di ruangan Kepala Sekolah Bu Wirda   menyampaikan bahwa, Haqi tidak naik ke kelas 3.   Mimik muka langsung berubah, gemetar saya memohon untuk dinaikkan percobaan dulu, sambil dipantau.   Usulan saya ditolak, kata Ibu Kepala Sekolah, “Nanti saya menzdolimi banyak orang”.   Dalam hati saya, menzdolimi bagaimana maksudnya? Menurut guru Wali Kelas, Haqi sering tidak masuk, maka otomatis sering tidak mengumpulkan tugas, sehingga tingkat kehadirannya kurang dari 80%, karena syarat kelulusan, salah satunya kehadiran minimal 80%.   Dan terus terang, kami baru tahu syarat ini sekarang.   Atau kami yang kuper.   Karena 2 kakaknya juga lulusan BM tidak ada syarat kehadiran 80% ini. “Kenapa tidak ada peringatan sebelumnya?” “Sudah Pak, saya sampaikan ke Haqi?” “Kok Haqi gak pernah bercerita ya

Difa Tidak Mau Sekolah

  Saat itu, kira-kira sepekan aku dan istri berada di Madinah, untuk melaksanakan ibadah haji.   Ada pesan masuk ke HP Istri dari anakku nomor dua, Salwa Nadifa.   Dia memberi info, bahwa minta berhenti dari sekolah, kelas 1 SMAN 5 Tangerang Selatan.   Padahal baru sebulan, masuk tahun ajaran baru.   Maka, dijawab Istriku, Difa sekolah dulu ya, nanti pulang haji kita omongin. Sejak itu, Difa tidak WA lagi, maka kami bisa fokus melakukan ibadah haji.   Ternyata dugaan kami salah, setelah pulang dari haji, baru tahu bahwa Difa sudah sebulan tidak masuk sekolah.   Bahkan, Hizbul, adiknya istri, sudah menghadap ke Sekolah, karena ada panggilan dari pihak sekolah. Sehari berikutnya, setelah pulang dari haji, Aku segera menemui pihak sekolah,   bertemu dengan Wakil Kepala Sekolah.   Bertemu juga dengan Guru Wakil Kelas.   Oleh Guru Wakil kelas, silahkan Difa masuk sekolah kembali, dan bisa mengejar tugas-tugas susulan, yang diberikan masing-masing Guru Bidang Studi.   Ternyata, setelah

Mang Husen Pekerja Keras

  Mang Husen ini pekerja keras, inilah sisi baiknya.   Sebagai Bapak dia sangat bertanggung jawab atas semua kebutuhan keluarganya.   Bagaimana tidak?   Kerja merantau pun dia jalani, demi nafkah untuk keluarga.   Aku yakin, keluarga di kampung tidak tahu persis, bagaimana perjuangan Mang Husen di Jakarta, berjualan sepatu sendal di Pasar Jatinegara.   Bagaimana hiruk pikuknya kota Jakarta, aku mengalami sendiri.   Dari tahun 1991 aku sudah di Jakarta. Dia Bersama teman-temannya dari kampung, mengontrak sebuah rumah petak, diisi 6 orang lebih, semua berjualan sepatu dan sendal yang diambil dari Tasikmalaya. Pernah suatu ketika dia tidak berjualan di Pasar, karena pasarnya banyak yang tutup, saat itu lagi ada demo.   Banyak dari teman-temannya pedagang ikut berdemo, kalau buka sendiri gak enak, sementara banyak pedagang yang tutup, solidaritas sesame pedagang.   Mang Husen memilih tidak berdemo, tetapi tidak juga buka dagangan.   Karena libur tidak berdagang, maka Ia sempatkan mai

Pamanku : Mang Husen

  Aku punya paman, namanya Mang Husen, dia adiknya Ibu.   Waktu aku masih kecil, kelas 2 SD, Mang Husen baru nikah dengan Bi May, dan melakukan honey moon ke rumahku di Delanggu, Klaten.   Oleh Bapak disewakan mobil, diajak tamasya ke Borobudur. Termasuk ikut juga sepupuku Cuek Elin yang juga baru nikah dengan Kang Aep. Setelah itu, Mang Husen ikut kerja dengan Bapakku. Bapak mempunyai usaha industri rumahan berupa pembuatan kerupuk, dan banyak mempekerjakan Saudara-saudara sendiri dari daerah asal Orang Tua yaitu Ciamis, Jawa Barat. Awalnya Mang Husen bekerja sebagai pencetak krupuk, dari adonan dicetak menjadi kerupuk yang belum di kukus.   Setelah agak lama,   ganti posisi, menjadi   Pedagang Kerupuk.   Kerupuk   yang sudah matang, diantar ke warung-warung, dengan menggunakan sepeda. Setelah sekian lama ikut dengan Bapak, Mang Husen memutuskan berhenti, dan kembali pulang ke Daerah asalnya Ciamis, karena memang selama bekerja ikut dengan Bapak di Delanggu, Istri dan anaknya t

BUKA TABUNGAN HAJI

  Aku membuka rekening haji tahun 2011, tepatnya bulan Mei.   Saat itu Ibu memberiku uang 10 juta, katanya ini wasiat Bapak sebelum meninggal, untuk buka tabungan haji.   Kata Ibu, pesan Almarhum Bapak, naik hajilah sekarang, mumpung masih muda.   Jangan nunggu tua, karena ibadah haji itu banyak memerlukan fisik yang kuat, agar optimal.   Karena pengalaman naik haji Alm Bapak dan Ibu yang sudah berumur waktu tahun 1991, haji kedua tahun 2007. Datanglah kami berdua istri ke Bank Muamalat untuk buka rekening.   Saat itu sedang ramai progam talangan haji, maka aku meminjam dana talangan haji, sebesar 50 juta untuk berdua, agar kami bisa mendapat nomor porsi haji.   Karena untuk mendapatkan nomor porsi haji, harus ada setoran 25 juta. Kami mulai mencicil dana talangan tersebut, sebulan 2 juta selama 2 tahun.   Berat juga menyisihkan 2 juta perbulan, maka kuputuskan untuk menjual tanah hibah dari orang tua.   Tanah tersebut ditawar oleh Kakak perempuan dengan harga murah.   Sebenarnya,

UMROH KEDUA

  Aku ingat, saat bikin paspor untuk umroh bersama Wisnu dan Patang, teman SMP,   Istriku pengin ikut bikin paspor juga.   Saat itu istriku bilang, siapa tahu aku bisa umroh juga? Dan, setahun kemudian peristiwa itu terjadi. Tepatnya tahun 2013, aku dan istriku umroh, bahkan gratis. Bagiku ini umroh kedua. Saat itu, aku membantu kawanku, Abu Hamzah, yang baru mendirikan perusahaan travel umroh.   Karena masih terhitung baru, maka aku ikut mempromosikan travel umrohnya, dengan cara mencari jamaah umroh.   Dapatlah calon jamaah itu, Teguh, Nia, Hizbul, Ibu Napsiah, dan Mbak Retno.   Karena sudah bisa mencarikan 5 calon jamaah, akhirnya aku dan istri diberikan hadiah umroh gratis. Alhamdulillah. Itulah keyakinan istriku, memang benar, bahwa omongan itu doa, sehingga suatu saat doa itu akan dikabulkan oleh Allah. Makanya, istri itu harus di dengar nasehatnya, walaupun nasehat itu tidak kita minta, karena mendengarkan adalah bagian dari menyenangkan istri.   Apalagi Wanita itu makhluk

TETIBA SEDIH... (Seri Kesedihan)

  Tetiba hatiku sedih, aku teringat Almarhum Ibu.   Tidak banyak yang aku perbuat sewaktu Ibu masih ada.   Karena memang aku tidak berada di dekat Ibu, sejak tahun 1991 kuliah di Jakarta, aku hidup jauh dari kampung, sehingga tidak bisa membersamai menghabiskan waktu bersama Ibu.   Sampai Ibu wafat tahun 2018, artinya selama 27 tahun aku tidak lagi melihat keseharian Ibu di kampung. Sekarang, aku juga ada di perantauan, jauh dari keluarga, sudah hampir 10 bulan ini, meninggalkan keluarga di rumah, demi tugas kantor ke lain pulau.   Karena situasi sedang ada pandemik covid-19, maka keluarga belum bisa ikut.   Ini juga mungkin yang membuat aku sedihnya bertambah-tambah. Aku sedih teringat Ibu, setelah ditinggal wafat ayah, tahun 2011, Ibu terlihat sangat kehilangan pasangannya, wajahnya tampak masih menyisakan kehilangan.   Makin sedih lagi, pada saat Ibu sendiri, sering telpon aku dan selalu menanyakan kapan aku pulang.   Karena memang, dengan alasan yang banyak aku jarang pulang.  

SEPI YANG MENGGELAYUT

  Rasa sepi mulai menggelayut, ini terjadi karena aku lagi tidak beraktivitas.   Mungkin suasana kantor yang mulai sepi, karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 3 sore.   Wajar saja, karena kondisi disekeliling yang sepi, maka suasana hati ikut terbawa, sepi.   Ini yang tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Segera aku alihkan fikiran ini.   Kubuka laptop yang tergeletak di meja, segera aku tulis coretan ini.   Sambil makan roti sobek sisa kemarin, aku mulai menulis.   Agar fikiran tidak berkeliaran tidak jelas, maka beraktivitas adalah pemecah fikiran liar itu. Tetapi kalau tuntutan kerjaan sedang banyak, maka jangankan ingat orang lain, diri sendiri aja tidak diingat.   Kegiatan untuk tubuh juga terlewat, olah raga terlewat, baca quran terlewat.   Tetapi ada yang tidak boleh terlewat adalah, disela-sela itu masih mengusahaka sholat berjamaah di Masjid. Memikirkan keluarga yang jauh, anak-anak yang tidak bisa langsung aku awasi, aku pasrahkan saja ke Allah SWT.   Sambil terus ber

Prasangka Baiklah...

  Sabtu sore, sekira pukul 16.00 ada berita masuk di grup WA SMP, Pesawat Sriwijaya hilang kontak.   Segera aku cari beritanya di medsos, dan benar.   Kejadian, pesawat jatuh ini mengingatku sepekan sebelumnya, saat aku berada di pesawat Lion, terbang ke Bengkulu. Begini ceritanya… Pagi ini, hari terakhir liburanku di rumah.   Dan akupun telah siap untuk kembali bekerja di perantauan.   Dengan tiket sudah di tangan, aku tiba di Bandara pukul 6.30.   Hari ini juga terakhir liburan anak sekolah, sehingga sangat ramai di terminal kedatangan.   Orang lain pulang ke Ibu Kota, selesai liburan, aku sebaliknya, kembali kerja di luar kota.   Sementara berpisah lagi dengan keluarga. Pesawat yang aku tumpangi take off terlambat 30 menit.   Tidak begitu penuh, mungkin hanya terisi setengahnya, akupun duduk sendiri dari 3 bangku.   Di dalam pesawat aku banyak berdzikir, kebiasaan ini yang selalu aku lakukan setiap kali naik pesawat.   Tapi kali ini dzikirku sepertinya hambar, sekedar teruc

IKHSAN...Namamu

  Setiap aku sholat selalu dia nongol di balik jendela musholla. Sepertinya memperhatikan sgerak gerik sholat kami para jamaah. Rumahnya persis di depan musholla, maka saat waktu sholat selalu datang ke musholla, tetapi tidak ikut sholat.   Melihat fisiknya aku yakin sudah dewasa, akil balig, karena sepertinya seumuran dengan anak lakiku Haqi, kelas satu SMA. Aku jamaah baru di musholla, karena jaraknya dekat dengan kantor, maka setiap waktu sholat aku menunaikannya di musholla ini.   Sebagai orang pendatang, aku tahu budaya timur, maka berusaha untuk ramah setiap bertemu orang, termasuk anak ini.   Setiap ketemu aku senyum ke dia, sambil aku buka masker sebentar.   Anak itu pun membalas senyumku. Anak ini ada kelainan, walau fisiknya terlihat sudah balig, tetapi gerak tubuhnya tidak beraturan, sepertinya otaknya tidak bisa sepenuhnya mengendalikan setiap gerakan tubuhnya.   Atau istilah kedokteran disebuat dengan ataksia , bicaranya juga tidak jelas, seperti   orang bisu, tapi kad

KANTOR INI KEMBALI SEPI

  Waktu menunjukkan pukul lima sore, Ruang kantor ini kembali sepi, semua pegawai sudah pulang.   Sementara aku, tidak pulang. Sebab tidak ada rumah yang aku tuju. Sunyi mulai mendera, seperti biasa aku jalani dua minggu ini. Walau ruangan kantor sepi, hatiku harus ramai.   Ini yang tiap saat aku tanamkan dalam fikiranku. Karena sebenarnya banyak kesibukan, kerja-kerja produktif yang bisa dikerjakan.   Seperti biasa, pandangan tertuju ke laptop, sengaja aku tidak matikan dari pagi.   Aku mulai menulis, mengisi hatiku yang sedang meronta.   Ya, meronta karena banyak pertanyaan berbisik di hatiku,   menghadapi banyak hal baru,   berjauhan dengan keluarga.   Suasana kerja baru, jabatan baru, bahkan ritme kegiatan harian yang baru. Aku ingat, kegiatan hari pertama kerjaku adalah, mengunjungi tetangga sebelah kantor. Namanya Pak Azazi, orang asli daerah sini. Karena kantorku, yang terletak diantara rumah-rumah penduduk, yang tidak terlihat seperti kantor.   Bangunannya pun, awalnya ad

KOTA TEMPAT KERJAKU

  Pagi ini, dari balik jendela kaca ruang kerja, aku tengok keluar, tampak 6 motor parkir.   Ibu-ibu berseragam kuning Pemda, dan batik PGRI adalah pemilik motor-motor itu.   Mereka datang ke kantor tempat aku bekerja, tentu ada hal yang akan di urus. Ya, aku kerja di kantor pajak Manna, Bengkulu Selatan.   Pemandangan ini, hampir tiap hari mewarnai kantorku.   Tentu mereka ada keperluan,   baik itu mendaftarkan NPWP, mencetak ID Billing untuk membayar pajak, atau keperluan lain yang berkaitan dengan pajak. Inilah, masyarakat yang sering aku temui.   Mereka adalah para Pegawai Negeri, guru, ataupun pegawai Pemda disebuah kota Kabupaten yang kecil. Golongan masyarakat ini yang cukup aware terhadap kewajiban pajak, seiring dengan tingkat pendidikan dan pemahaman mereka terhadap pentingnya pajak. Tetapi, mereka ini hanya sebagian kecil saja, dari masyarakat dari Penduduk kota Kabupaten.   Karena sebenarnya penduduknya banyak di dominasi para Nelayan, Petani, atau pedagang kecil meneng