Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Satu Takdirku

  Aku sekarang sedang menjalani satu takdir, yaitu hidup sendiri, jauh dari keluarga. Berjuang mencari nafkah, demi mencukupi kebutuhan anak dan istri.   Kalau lagi sakit sendirian pula. Ah… Ini kalimat biasa sebenarnya, bukan istimewa.   Karena menafkahi anak dan istri itu kewajiban bagi seorang Suami.   Yang namanya kewajiban itu harus ditunaikan, kalau tidak dikerjakan berdosa.   Kalau seorang Suami tidak mau dan tidak bisa menafkahi keluarganya, Dia berdosa.   Nikmat dan sakit, silih berganti, selalu ada dalam kehidupan. Makanya kalau lagi dikasih sakit, biasa aja Bos…tidak perlu mengeluh, tidak juga berlebih-lebihan, seolah-olah yang paling menderita di dunia ini.   Sudah berjuanglah…jauh dari keluargalah…sakit sendirianlah… Jalanin aja, titik.   Katanya takdir, terimalah sambil terus bersabar ketika menerima takdir yang tidak enak. Tidak enaknya apa? Jauh dari keluarga…itu juga sebentar aja kok. Bisa jadi ini pilihan terbaik buat kita.   Barangkali itu cara Allah yang terba

Memaknai Kesendirian

  Memaknai kesendirian… Aku saat ini sendirian di kamar.   Ruangan seluas 4x5m2 ini sudah menemaniku hampir 2 tahun. Dinding dengan cat kuning yang sudah pudar, seolah sudah menyatu dengan tatapan mataku.   Karena setiap akan tidur, seolah sekililing dinding itu menatapku. Kalau ruangan gelap, dinding itu sedikit memantulkan cahaya dari luar.   Hampir semua perabot di kamarku sudah berumur, ada cermin yang menempel didinding dengan plester hitam, agar retaknya tidak melebar.   Lalu meja dan kursi kayu yang mulai rapuh, tapi ini yang sehari-hari aku pakai menuangkan uneg-unegku di layar laptop (baterainya rusak). Ah ada sih yang yang baru, lemari plastik tempat aku menyimpan pakaian, kasur busa dan bantal gulingnya, baru aku beli saat mulai menempati kamar ini. Lantai kamar cukup dingin, untung ada kapet merah dilantai, sehingga anget.   Lainnya ada gantungan baju, rak sepatu, keranjang baju kotor, dan keranjang sampah, semua setia mendengar rintihan kesepianku.   Dan terakhir A

50 Tahun

  Sudah 50 tahun aku menjalani hidup.   Prestasi apa yang sudah aku buat?   Amalan apa yang bisa aku banggakan ketika nanti di tanya di alam kubur? Sudah seberapa baik menjalani peran-peran di dunia? Masih banyak lagi pertanyaan semisal itu… baru beberapa saja. Memang kita tidak tahu apa yang terjadi besok? Tugas kita adalah menjalani hari ini sebaik-baiknya.   Bukankah kita sebenarnya adalah kumpulan hari-hari yang sudah dilalui? Maka, kalau tiap harinya menjalani dengan baik, Insya Allah umur kita adalah kebaikan, dan semoga berkah.   Tapi apakah sudah seperti itu realisasinya? Kita flashback yuk… Kita menanggung sebagai mukhalaf (dikenai tanggung jawab, dihitung amal dan dosanya), saat kita baligh. Taruhlah umur 14 tahun, sekarang umur 50, sudah 36 tahun kita menjalani hidup di dunia.   Kalau sehari tidur 6-8 jam, berarti 1/3 umur kita hanya buat tidur dan itu tidak bernilai apa-apa. Coba bayangkan, 21 tahun kita tidur dan tidak ada amalan disitu. Lalu   29 tahunnya kita gu

Kebiasaan Baru

  Di luar hujan gerimis, menambah dingin cuaca, tapi tidak di ruanganku, aku menulis untuk mengikat momen.   Agar suatu saat bisa dibaca oleh anak-anakku.   Bahwa mereka belajar hidup dari pengalaman orang tuanya. Karena aku jauh dari keluarga, banyak waktuku sendiri, ada satu kegiatan baru yang aku lakukan.   Saat ini aku sedang belajar desain, untuk konten instagram, dengan menggunakan aplikasi Canva.   Sebelumnya aku buta tentang membuat desain ini, sekarang sedikit banyak sudah bisa. Memang bukan hal yang luar biasa, tetapi minimal aku banyak mencari isi konten Instragram dari quran dan hadist, karena sekarang aku punya akun IG islami, namanya @IslamicMovement2022 dan @IslamicTalent2022.   Dua akun ini, aku manfaatkan untuk meramaikan konten-konten IG Islami lainnya. Berawal dari Istri yang sebelumnya sudah punya akun IG Islami (@Islamic_Realstraight).   Kemudian istri memberi saran aku, untuk membuat akun IG islami juga.   Awal Maret 2022 aku membuat akun itu, dari yang sebe

TEKANAN DARAH TINGGI

  Jam menunjukkan pukul 20.30, udara malam diluar agak panas, suara motor di jalan bising terdengar sekali-sekali, saya sendirian di kamar.   Mata terkantuk, maklum baru sampai tadi subuh perjalanan darat dari Jakarta, tetapi aku paksakan menulis. Siang tadi aku periksa dokter, tensiku tinggi 170/110… Subhanallah.   Dikasih obat penurun tensi. Selama kerja di lain kota, tensi cenderung tinggi.   Dua tahun yang lalu, saat masih di Jakarta, aku sering donor darah, artinya tensiku normal, karena tensi maksimal 150/90 boleh donor. Aku belum tahu penyebabnya tensiku tinggi, karena genetik kah? gak tahu juga, faktanya adik dan kakakku juga tinggi.   Atau gara-gara aku kerja jauh dari keluarga? sehingga banyak fikiran, gak tahu juga. Aku merasa, akhir-akhir ini semangatku beraktifitas turun. Kerja datar, makan cenderung kurang nafsu, sering melamun, fikiran menggelayut, banyak yang perlu diselesaikan.   Tidak seperti awal-awal aku di kota ini. Semangat membara… tapi setelah 2 tahun. Ya

Ibuku Wafat

  Ibuku Wafat Mendengar ibu di kampung dirawat di rumah sakit, aku segera pulang.   Naik kereta pagi, Sabtu sore sampai, langsung ke rumah sakit, tanpa mampir ke rumah Ibu dulu.   Sudah ada dua kakakku yang sedang menunggu, baru semalem Ibu menginap di rumah sakit.   Menjelang malam kakak-kakakku pamit pulang ke rumah masing-masing.   Aku menjaga Ibu malam itu sendiri, memang kepulanganku sengaja untuk menunggu Ibu yang sakit. Tiap malam (sampai wafatnya Ibu), aku sendiri yang menginap di kamar perawatan, di sofa sebelah bed tempat Ibu berbaring. Pagi-pagi, biasanya kakakku Mbak Nur datang ke umah sakit, sambil membawa sarapan buatku.   Aku sangat lahap sarapan makanan khas kampung, semisal soto garingan, atau gudangan.   Ini mengingatkanku, 32 tahun yang lalu, dari kecil sampai lulus SMA, selalu sarapan dengan itu, atau kadang dengan bubur pakai sayur letok dan ketan dikasih kuah kuah gula jawa. Ah… masa-masa itu, mungkin tidak bisa dirasakan anak-anakku sekarang, yang sejak lah

Ustadz Heru...

  Aku mengenal Dia, saat memimpin tahlilan syukuran tetangga, dalam rangka menempati rumah dinas baru, pegawai pengadilan agama di Bengkulu Selatan.   Dari raut wajahnya nampak orangnya ceria, dengan tubuh yang besar dan tegap terlihat energik. Maka, semangat pula saat memimpin tahlilan. Sepulang dari tahlilan, info dari Pak Irul, orang tersebut namanya ustdaz Heru, asli orang Jawa, lahir di Lampung, sekarang menetap di Manna. Sekian lama tidak berjumpa, qodarrullah dipertemukan di acara nikahan anaknya Pak Rosihan.   Aku dan Dia bertugas sebagai penerima tamu. Sengaja aku duduk dikursi samping Ustadz Heru, agar bisa ngobrol banyak.   Awalnya aku sapa, Ustadz Heru ya? Lalu aku memperkenalkan diri, Halik Amin, Kepala KP2KP Manna, menggantikan Pak Kairan. Obrolan makin seru, suka cerita Dia. Maka akupn jadi banyak dapat informasi tentang ke-ustdzan-nya.   Dulu pernah jadi ketua Masjid Attawab, tempat aku biasa sholat jamaah. Karena perbedaan sedikit dengan Pak Rosihan, Ustadz Heru

Pertemuan Itu Sementara...

  Pertemuan itu sementara… Aku kenal Pak Man, biasa orang memanggilnya begitu, nama sebenarnya Ruslan, karena punya anak namanya Man, maka dipanggil Pak Man.   Aku sudah mengenalnya 1,5 tahun ini. Orangnya sudah sepuh, umur sekitar 75 tahun. Pensiunan PNS, walau sudah tua tetapi masih giat bekerja.   Ia membuka warung dan bengkel sepeda. Tetapi kesehatannya yang terganggu, maka sering warung dan bengkel sepedanya tutup. Kalau lagi sakit, dia biasa duduk-duduk di depan rumahnya. Aku sering menyapa, kalau lewat di depan rumahnya. Menanyakan kondisi kesehatannya dengan bahasa isyarat, karena pendengarannya agak terganggu.   Sambil tersenyum kepadanya, dengan mengepalkan kedua tanganku, aku berharap dia sehat, tetapi dia dengan bahasa tubuhnya, bahwa sedang sakit. Sering ketemu di masjid, saat solat Jumat. Biasa dia duduk di barisan depan paling kanan, karena bisa sambil pegangan tembok kalau pas mau berdiri pulang meninggalkan masjid. Aku sengaja duduk di sampingnya, agar bisa ngobr