Lelaki Pemegang Janji

(Cerpen, dimuat di Islamedia)

Hujan yang lebat memaksa Umar harus menepikan motornya. Ia terlupa tidak membawa jas hujan di dalam tasnya. Padahal jas hujan itu biasa tersimpan rapi di dalam tas ransel kerjanya. Tetapi kali ini tidak. Kemarin malam, jas hujan itu masih basah, habis dipakai, karena pagi itu Umar terburu-buru, sehingga terlupa untuk melipat kembali dan memasukkannya dalam tas ranselnya.

Sementara, perjalanan ke tempat mengajarnya masih jauh, tetapi hujan yang lebat, maka Ia harus berteduh.

Di emperen toko yang kebetulan belum buka itu menjadi pilihan untuk berteduh. Walaupun, Umar harus berbagi tempat di emperan toko itu, karena banyak pengendara motor lain yang ikut berteduh. Saat berteduh itu, Ia teringat istrinya di rumah.

Sambil menunggu hujan reda, Ia gunakan untuk menelpon istrinya. Menanyakan keadaannya, karena hari itu sebenarnya istrinya sedang sakit.

“Assalamu’alaikum….”

Terdengar bunyi di telpon suara istrinya di rumah, dengan nada yang lemah. Tetapi tampak cukup senang, karena mendengar suara suaminya.
“Lho…, Abi kok nelpon, lagi nggak ngajar…?”
“Ini lagi berteduh, jas hujannya ketinggalan…”
“Masya Allah… ketinggalan ya…”
“Iya, tadi buru-buru, soalnya sudah kesiangan…”
“Maafin Umi ya…, ngrepotin Abi terus… jadi ketinggalan jas hujannya…”
“Nggak apa-apa kok… Umi gimana, dah baikan…? “
“Alhamdulillah… “

Pagi itu, Umar harus membangunkan anak-anaknya, termasuk menyiapkan semua perlengkapan sekolahnya. Kalau lagi sehat, istrinya yang mengurus semua keperluan anak-anaknya sekolah. Tetapi karena istrinya masih lemah, dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Maka Umar yang menggantikan tugas rutin pagi istrinya. Sehingga ia harus sedikit kesiangan berangkat ke tempat kerjanya.

Bukan pagi ini saja Umar ikut membantu pekerjaan istri. Ketika ketiga anaknya masih bayi pun, Umar biasa menggantikan popok, membuatkan susu, dan menggendongnya. Setelah anak-anaknya mulai agak besar, Umar pun masih ikut memandikan, menyuapi. Belum lagi mencuci, menyeterika, dan menyapu lantai. Hampir semua tugas-tugas rumah tangga, Umar sudah terbiasa melakukannya. Tidak terasa ternyata itu sudah berlangsung hampir sepuluh tahun. Dan, Umar pun enjoy saja dengan semua itu. Karena Umar sudah berazam dalam dirinya, akan memberikan pelayanan yang terbaik buat istri dan anak-anaknya. Bukankah seorang pemimpin adalah pelayan? Sekalipun itu pemimpin rumah tangga.
--------------

Sudah hampir setengah jam, hujan terus mengguyur lebat. Mendung gelap terlihat masih menyelimuti langit Ibu Kota ini.
“Sepertinya hujan akan awet…, dan aku sudah terlambat masuk ke tempat kerja”, gumam Umar. “Alhamdulillah…, ada guru yang menggantikan jam mengajarku, karena sebelumnya aku sudah menelpon ke sekolah, akan terlambat datang ke sekolah”.

Melihat tetesan air hujan, Umar teringat pada kejadian lama, berkaitan dengan hujan juga.

Sambil merenung serius, Umar mengingat-ingat kembali kejadian itu. Pikirannya melayang, pada peristiwa sepuluh tahun sebelumnya. Ketika itu, Umar hendak pergi ke suatu tempat. Tentunya dengan motor kesayangannya, Ia mencari-cari alamat rumah itu. Tempat yang bersejarah, karena rumah itu adalah tempat tinggal Ibu Santi, Murobbiyah seorang akhwat. Dan, akhwat itu sekarang menjadi istrinya. Di rumah itulah terjadi proses ta’aruf.

Hari itu juga hujan. Dengan basah kuyup, karena tidak menggunakan jas hujan, Umar memasuki rumah itu. Ia datang seorang diri, sementara menunggu kedatangan akhwatnya, Umar ditemani oleh suami Murobbiyahnya, Pak Ade. Ketika itu, disaksikan oleh Ibu Santi, Pak Ade, dan adik perempuan akhwatnya, Umar berjanji bahwa akan menerima apapun kondisi akhwatnya, sekalipun sakit-sakitan. Seketika itu juga, tampak wajah-wajah orang yang mendengar ucapan Umar, menunduk malu, terkesima, bahkan tampak mata mereka yang berkaca-kaca.

Dan… janji itu sampai hari ini masih dipegangnya. Bahwa dalam kondisi apapun, sebagai seorang Suami, Umar berusaha menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Termasuk menggantikan tugas sehari-hari istrinyapun tidak masalah bagi Umar.

Hujan makin lebat, bahkan disertai guntur. Membuat renungan Umar terhenti. “ Ah… hujan makin lebat nih, bisa-bisa aku makin lama terlambat…” gumam umar dihati Hujan yang makin lebat itu, membuat Umar meneruskan kembali renungannya.

Kali ini, Umar teringat akan ucapan Murobbinya, ketika menyerahkan data akhwatnya dalam amplop putih. “Akhi… ini ada data akhwat…”
“Silahkan antum pelajari…”

Waktu itu murobbi Umar menyampaikan tentang kondisi akhwatnya, termasuk yang sering jatuh sakit, karena penyakit yang dideritanya sejak kecil. Akhwat itu berasal dari keluarga yang berpunya, Bapaknya mantan Pejabat, tetapi sudah meninggal setahun sebelumnya. Dan, Umarpun selalu teringat pesan Murobbinya, ketika memutuskan untuk menikahi akhwat itu.
“Akhi… karena ini sudah menjadi keputusan Antum…”
“Antum harus bertanggung jawab…”
“Dan, ana yakin, antum bisa… “

Karena sudah bulat Umar untuk menikahi akhwat itu, Ia pun tanpa ragu berjanji pada Murobbinya untuk menjadi seorang suami yang bertanggung jawab.
“Insya Allah ustadz… “
“Ana memegang janji itu… dan tolong doakan ana Ustadz….”
-------------------

Sampai di sekolah sudah pukul delapan lebih, sudah satu jam lebih, Umar terlewat dari jadwal mengajar, tetapi karena karena sudah ada yang menggantikan, Umarpun langsung menuju ke ruang kerjanya. Dan segera merebahkan tubuhnya di kursi kerjanya yang terbuat dari kayu. Sejenak kemudian, Ia teringat, mantan Murobbinya dulu yang menjodohkannya. Sampai sekarang masih teringat, sebab dari persitiwa itu, sejak ketika Umar memutuskan untuk menikah, Murobbinya ini memanggil Umar dengan julukan “Lelaki Pemegang Janji”.

“Assalamua’alaikum… Ustadz Rahmat?” Ustadz Rahmat, sekarang tinggal agak jauh dari rumah Umar, beda kabupaten saja. Kalau ditempuh dengan perjalanan sepeda motor, sekitar satu jam.

“Wa’alaikumussalam…”
“Wah, senang sekali ana ditelpon oleh Lelaki Pemegang Janji….he…he…”
“Gimana kabarnya akhi…?”
“Alhamdulillah… baik ustadz…”
“Ana mau silaturahim ke rumah antum… Ahad pagi besok…”
“Ada di rumah kan… “
“Insya Allah…, ana sediakan spesial waktunya… buat antum…”
“Jangan lupa, ajak istri dan anak-anak antum ya… “
“Iya ustadz… ana sama keluarga, semuanya ikut… “
“Sudah dulu ustadz… ana mau ngajar…”
“Assalamu’alaikum… “

Jakarta, 6 Februari 2012
Abu Fathi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku