Belajar dari Om Jono

(Kisah ini saya kirim ke Islamedia, Inspirasi, berharap di publish)


Matanya memang tidak bisa melihat, tetapi tidak dengan hatinya. Dialah Om Jono, begitulah aku biasa memanggilnya. Hatinya menyala terang, bahkan sangat terang, Ia tidak mau menjadi peminta-minta, seperti orang-orang buta lainnya yang sering aku lihat di jalan-jalan atau angkutan umum. Tetapi memilih menjadi tukang pijat, pekerjaan yang lebih terhormat katanya, dibanding menjadi pengemis.

Aku mengenal Om Jono setelah menikah dengan istriku, bahkan dengan keluarganya ikut hadir saat pernikahanku. Dulu, sewaktu almarhum ayah mertua masih hidup, menjadi tukang pijat langganan ayah mertuaku. Sekarang kebiasaan memijat itu, diteruskan ke menantunya, yaitu aku. Hampir sebulan sekali Ia datang ke rumah untuk memijat. Rasanya hati ini tidak tega, setiap kali Om Jono menelpon, mau datang ke rumah, walaupun kadang-kadang badanku sedang tidak pegal-pegal amat.

Om Jono ini orangnya suka bercerita. Disela-sela dalam setiap memijatnya, ada saja yang diceritakan. Tentang masa kecilnya yang diasuh di Panti Asuhan, tentang kebiasaanya bangun malam, tentang anak-anaknya, tentang istrinya yang masih bolong-bolong sholatnya, atau bahkan tentang pilihannya setiap kali ada pesta rakyat lima tahun sekali, yaitu Pemilu.

Ketika masa kecilnya, misalnya, Om Jono tidak bisa melihat ternyata tidak sejak lahir. Menurut cerita orang lain, sewaktu kecil sekitar umur 5 tahun matanya normal. Tetapi karena sakit panas yang hebat dan terlambat ditangani, menyebabkan matanya menjadi tidak bisa melihat.

Ia juga tidak tahu siapa orang tuanya, makanya ia hidup dan besar di Panti Asuhan. Tetapi itu semua tidak mengecilkan hatinya, bahkan ia menjadi lebih mandiri. Karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengabdi di Panti Asuhan itu, maka tertempa menjadi orang yang mandiri.

Walaupun matanya tidak normal, tetapi ‘sifat laki-laki’ nya normal. Menginjak remajapun, ia juga mulai mengenal lawan jenis. Akhirnya Om Jono remaja berjodoh dengan wanita yang biasa membantu di Panti Asuhan itu, wanita normal dan bisa melihat, Mbak Tin, begitu aku biasa menyebutnya. Bahkan demi cintanya pada Mbak Tin, Om Jono bersedia mengikuti keyakinan calon istrinya yang muslim. Mulailah saat itu mereka membangun mahligai rumah tangganya dengan cara muslim.

Om Jono memilih untuk keluar dari Panti Asuhan yang membesarkannya, demi keyakinannya yang baru yaitu Islam. Dengan mengandalkan skill memijianya, Om Jono dan istrinya berani mengontrak sebuah rumah petak di daerah Pasar Minggu. Dari sinilah pula, Om Jono mulai mengenal almarhum ayah mertuaku. Rumah kontrakan tempat tinggalnya merupakan tetangga kampung, dari tempat tinggal ayah mertua, rumah dinas di komplek perumahan Bank Indonesia.

Tetapi setelah meninggalnya ayah mertua, tahun 1993, keluarga Ibu mertuaku pindah rumah di daerah Pondok Aren, Tangerang Selatan.

Walaupun jauh dari Pasar Minggu ke Pondok Aren, hampir tiap bulan Om Jono selalu datang untuk memijat aku. Ketiga anaknya yang laki-laki bergiliran diajaknya untuk menemani Om Jono selama perjalanan, kadang-kadang istrinya yang diajak.

Aku mengenal Om Jono, yang saat itu tahun 1998 sudah mempunyai 5 anak. Anaknya yang paling besar perempuan, sudah menikah, dan menetap di Bandung bersama suaminya. Sedang keempat anaknya yang lain masih sekolah. Sehingga bisa dibayangkan, besarnya biaya yang dibutuhkan Om Jono untuk kelangsungan hidupnya.

Betapa berat, kalau harus berlogika, seorang yang tidak bisa melihat, mempertahankan hidup dengan keempat anaknya, di Ibu Kota Jakarta. Subhanallah…

Alhamdulillah…, kata ini seringkali terucap dari mulut Om Jono, atas semua rezeki yang diterimanya. Sedikit banyak semua dinikmati saja, katanya.
Walaupun sulit, Om Jono selalu memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Anaknya yang ke-2 misalnya, Nur Hasanah, dengan usahanya yang tak kenal lelah, mendapat beasiswa dari sebuah yayasan, sehingga sampai dapat menyelesaikan kuliah D 3 Akuntansi-nya di YAI, Jakarta. Dari anaknya yang nomor dua inilah, sekarang Om Jono tinggal di rumah anaknya sendiri di Citayam, Depok.

Anaknya yang ketiga, laki-laki, lulus SMA menjadi Nelayan di Kepulauan Seribu, dan telah berumah tangga juga. Dan yang nomor empat, lulus SMEA, bekerja menjadi ‘tenaga pembukuan’ disebuah perusahaan kontraktor. Yang paling kecil masih sekolah kelas 2 SMA.

Sekarang….aku jarang ketemu Om Jono lagi. Dan karena fisiknya yang sudah semakin tua juga, hampir setahun terakhir ini, sudah tidak lagi memijat aku. Sebagai gantinya, kadang-kadang Om Jono datang ke kantor tempat aku bekerja, untuk bersilaturahim, tentunya masih ditemani seorang anaknya.

Om Jono seorang yang sabar, hatinya lapang, seluas samudera barangkali. Itulah makanya, Ia merasa wajar saja, seorang yang tidak melihat, pakaian kumal, berjalan saja dituntun ‘tidak dianggap’ ketika bertemu ‘seseorang lebih normal’ dibanding dia.

Pernah suatu ketika datang ke kantor, tetapi ‘diusir’ oleh Satpam di kantorku, karena kelalaianku juga. Ketika sampai di kantor, biasanya Om Jono menelpon ke HP-ku, lalu aku datang ke lobby kantor untuk menjemput dan membawanya ke ruangan kerjaku. Tetapi saat itu aku sedang ada rapat, HP juga dalam kondisi silent, sehingga berkali-kali telpon masuk ke HP-ku, aku tidak menghiraukannya. Alhasil, kata Satpam kantor Om Jono dikira mengada-ada, karena tidak ada pegawai yang menjemput di lobby kantor. Pulanglah Om Jono dengan hampa, tanpa bertemu aku.

Tetapi hebatnya Om Jono, merasa itu bukan ‘diusir’, wajar saja, tugas Satpam memang seperti itu, katanya.

Tentang Pilihannya dalam Pemilu

Dari ceritanya juga aku tahu, Om Jono adalah pemilih setia pada partai yang berlambang Ka’bah dan Padi Kapas, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bahkan sejak Pemilu yang pertama setelah masa Reformasi, tahun 1999, Om Jono sudah memilih PKS (Partai Keadilan). Jadi sudah tiga kali Pemilu ini, Om Jono masih setia dengan pilihannya, PKS.

Awalnya ditengah-tengah memijat aku, tahun 1999, akan berlangsungya Pemilu, Om Jono bertanya padaku. Kira-kira pilihan apa yang nanti harus dipilih? Lalu aku menyebutkan angka 24, aku juga menjelaskan sedikit tentang tokoh-tokoh yang ada di Partai Politik yang mempunyai nomor urut 24 itu.

Kadang-kadang aku bercerita tentang Hidayat Nurwahid, salah satu tokoh di PKS (PK saat itu) yang kebetulan berasal dari daerah yang sama denganku, Klaten. Bukannya nepotisme lho…, karena memang aku termasuk orang yang ‘ihtirom’ atas kepemimpinan Beliau.

Sejak saat itu Om Jono mulai sering mencari tahu tentang PKS. Melalui radio kecil yang dipunyainya, Om Jono sering mendengar berita tentang Hidayat Nurwahid. Sehingga dalam kesempatan memijat aku beberapa bulan berikutnya, Om Jono sudah sedikit banyak tahu tentang tokoh ini.

Dalam setiap pergantian nomor urut dalam Pemilu pun, aku selalu menceritakan kepada Om Jono. Sehingga setiap akan masuk ke bilik suara dengan dibimbing anaknya, Om Jono selalu memilih parta ini.

Om Jono bercerita juga, tentang langganan pijatnya yang seorang ustadz, juga pemilih setia PKS. Sehingga barangkali ‘mata hatinya’ yang berbicara, semakin mantap, bahwa menurut Om Jono, pemilih partai ini adalah orang-orang baik. Itulah sebabnya sampai dengan Pemilu terahir tahun 2009 kemarin, Om Jono tidak mau ‘pindah ke lain hati’.

Pembaca yang budiman, itulah sekelumit kisah heroiknya Om Jono…, semoga kita dapat mengambil ‘hikmah yang besar’ dari ‘seseorang yang dianggap kecil’ oleh ‘sebagian besar orang’.

Jakarta, 17 Juni 2011
Abu Fathi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku