Lelaki Muharrik Itu Menangis...

(Cerpen ini telah di muat di Islamedia, Sastra Islami)


Lelaki di depanku itu tertunduk lesu, lemas, tatapan matanya kosong, sepertinya berat sekali beban yang menggelayuti pikirannya. Lelaki yang gagah, Lelaki yang biasa menghadapi kerasnya merintis usaha…kok tiba-tiba jadi cengeng gini….wah, ada apa ini?
………………

Adalah Andi, binaanku dalam halaqoh. Sudah sekitar lima tahun, aku berinteraksi dengannya. Selama itu pula aku tahu, Ia adalah ikhwan yang tangguh, muharrik, dan termasuk kader terbaik dalam halaqohku. Tidak seperti Murobbi-nya yang sok lucu, suka mbayol…

Tetapi ternyata tidak terjadi pada kali ini, anomali Andi yang biasa ceria. Menampakkan wajah yang serius, seserius seorang pelajar SMU yang sedang ujian akhir. Walah… kok jadi ngomongin anak sekolah? Padahal beberapa saat sebelumnya, ketika masih ada beberapa ikhwah lainnya, ia terlihat seperti biasanya…ceria. Bukan iklan mobil Daihatsu Ceria lho…

“Afwan ustadz…, ada yang perlu ana sampaikan…”
“Ana minta waktunya sebentar…”

Itulah permintaan akh Andi, diakhir ketika kami sedang mengadakan pertemuan rutin pekanan.

“Oh…tafadzol akhi…, sepertinya serius nih…?” Tanyaku, masih dengan nada bercanda…
Aku mencoba menebak-nebak saja…(emang kuis, menebak-nebak) karena memang jarang sekali akh Andi meminta waktu, untuk berbicara empat mata. Kalo mau bicara empat mata…sono sama Thukul aja… (ini hanya dalam hati kok). Bahkan bisa jadi belum pernah, akh Andi punya masalah seserius ini. Sampai-sampai menyempatkan waktu yang sangat khusus untuk berbicara denganku.

Setelah teman ikhwan lainnya pergi satu persatu meninggalkan halaqoh itu, Akh Andi beringsut dari duduknya, menggeser lebih mendekat ke aku.

“Afwan ustadz…, sengaja ana sampaikan masalah ini, berdua saja…”

Kali ini Ia menampakkan mimik muka yang serius, tapi malah terlihat lesu…, (habis…, biasanya ceria sih), sesekali bicaranya parau, sepertinya menahan kesedihan yang amat sangat. Sebab baru sekali ini, dalam rumah tangganya yang sudah menginjak tahun ketiga usia pernikahan mereka, Ia sepertinya menghadapi masalah yang berat.

Di tengah Ia menceritakan masalahnya, sesekali juga tatapan matanya kosong, menunduk, atau kadang-kadang memain-mainkan pulpen yang masih dipegangnya. Grogi kali…ya? Kayak lagi ta’aruf aja…grogi.

Aku tertegun, hening, sambil terus mendengarkan akh Andi sedang mengungkapkan semua perasaan yang terpendam di hatinya selama ini. Lho…kok tiba-tiba aku jadi serius ya…?

Akh Andi merasa sangat sedih, bahwa selama ini istrinya, Alda, yang sudah memberinya dua mujahid kecil, ‘Abid dan Haqi, membuat pengakuan, bahwa istrinya mempunyai hutang yang masih harus dibayar, jumlahnya cukup besar. Hutang itu adalah biaya waktu pernikahan mereka. Hutang itu sampai hari ini masih dicicilnya.
Sebenarnya istrinya itu berasal dari keluarga yang sederhana, tetapi anehnya, saat pernikahan dilakukan dengan sangat mewah. Andi herannya juga saat itu cuek saja.

Ibu mertua Andi (ibunya Alda) pinjam uang sama Pamanya Alda, gara-garanya, gengsi, masak anak satu-satunya mau nikah, nggak dirayain besar-besaran? Gimana kata saudara nanti...? Begitu alasan Ibunya pinjam uang.

Hmm… cerita Andi sepertinya ada beda persepsi, batinku, padahal aku tahu persis kejadiannya.

Ibunya Alda ini pinjam uang ke salah satu Pamannya, biar anaknya bahagia…toh cuma sekali ini aja kan seumur hidup. Sehingga pesta pernikahan dibuat semewah mungkin. Begitu kata Ibunya lagi. Lagi-lagi Andi ‘membelokkan’ persepsinya.

“Pantesan…istriku selama ini kerja…kok tidak pernah untuk belanja keperluan dirinya…” kata Andi keheranan.

Sehingga gaji istrinya yang bekerja itu, seringkali tak berbekas, kecuali hanya untuk keperluan anak, dan tentunya membayar cicilan hutang ibunya.

“Tapi kan…ustadz, saya termasuk orang yang nggak suka berhutang…”
Begitu kata Andi…, sehingga Ia sangat serius menghadapi masalah ini. Karena Ia termasuk orang yang sangat menghindari berhutang. Agar hidupnya lebih berkah, menurut Andi.

“Tetapi akhi….ini kan sudah terjadi, dan antum sudah tahu masalah ini, sekarang…, maka antum juga harus ikut membantu menyelesaikan juga…. Bukan malah menyalahkan tindakan istrinya.

Karena Andi merasa istrinya tidak amanah, tidak mau bercerita masalah ini diawal pernikahan, kenapa baru sekarang?

“Antum sudah ceritanya…?” Selaku, ketika Andi cukup lama menghentikan ‘curhat’nya.
“Akhi…, sekarang ana yang cerita ya…., gantian antum jadi pendengar…”
“Akhi…., istri antum sudah baik,…bertindak seperti itu”
“Dan harusnya Antum bersyukur juga, mau menceritakan ini secara terbuka ke antum….kan”

Giliran Aku sekarang yang banyak bercerita ke Andi, tentang istrinya, Alda. Tentunya apa adanya dong… ndak pakai ‘persepsi’ lain… Murobbi gitu lho…

Aku sampaikan ke Andi, bahwa bisa jadi, istri Andi berusaha untuk tidak memberatkan suaminya nanti, sehingga tidak mau menceritakan masalah ini dari awal. Untuk menjaga perasaan, karena istrinya tahu pada saat awal-awal mereka ta’aruf, bahwa penghasilan suaminya tidak sebesar penghasilan Alda. Lebih-lebih Andi saat itu sedang merintis usahanya, sehingga arus kas ‘cash flow’ pun belum menentu.

Sehingga dengan sangat sadar, Alda, nantinya saat waktu yang tepat, akan menceritakan ini semua pada suaminya. Dan benar, bahwa setelah tiga tahun pernikahan, Alda berani mengungkapkan ini, demi kebaikan bersama.

Oh…ya lupa. Alda, istrinya Andi ini adalah, seorang pegawai di salah satu bank swasta ternama di Indonesia. Ibunya sudah lama menjadi single parent, sejak Ayah Alda meninggal di Mekah saat menunaikan ibadah Haji. Saat itu ayah Alda masih aktif bekerja di Bank Indonesia. Walaupun demikian, Ia orang yang sangat sederhana.

Sementara Andi adalah seorang pemuda yang mempunyai jiwa entrepreneur tinggi. Walaupun lulusan sarjana ekonomi dari perguruan tinggi, ia memilih untuk merintis usaha sendiri, berwiraswasta. Dan dalam awal merintis usaha ini, masih jatuh bangun. Tetapi karena keinginan yang kuat untuk menikah dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah SAW, maka Ia tidak menolak ketika saya sodori data akhwat, Alda, yang tidak lain dan tidak bukan adalah binaan istri saya…he…he…

“Untung saat itu, akhwatnya mau menerima antum….”
Saya kembali mencoba flash back…, menceritakan ke Andi, tentang peristiwa tiga tahun yang lalu.

Bahwa saat itu Andi adalah ikhwan yang sangat beruntung mendapatkan Alda. Karena Alda, termasuk akhwat yang cantik, cerdas, anak tunggal, walaupun dari keluarga yang sederhana. Almarhum ayah Alda adalah seorang pegawai yang sederhana, tetapi tidak dengan saudara-saudarnya yang lain. Saudara-saudara kandung ayahnya ada yang menjadi pejabat, dokter bedah, direktur di Bank, bahkan Kakeknya Alda pernah menjabat sebagai Menteri Veteran pada jaman Pemerintahan Presiden Soekarno.

Sehingga saya tahu masalahnya saat pernikahan itu, Ibunya Alda meminjam uang kepada salah satu Pamanya. Karena tidak mau mengecewakan tamu-tamu dan saudara-saudara dari ayahnya. Ibunya ingin menjamu Saudara-saudara dari almarhum suaminya itu dengan jamuan terbaik.

Dan semua masalah itu sudah dikonsultasikan oleh Alda ke Murobbiyahnya, yaitu istriku. Sebenarnya istriku juga sudah memberikan masukan, agar pernikahan dilakukan secara sederhana saja, tetapi karena Alda juga tidak ingin mengecewakan kemauan ibunya, sehingga Ia rela nantinya akan ‘mencicil’ hutang ibunya itu dari gaji bulanannya.

Dan ternyata benar…, pernikahan itu banyak dihadiri oleh para kolega ayahnya, teman-teman Kakeknya, dan Saudara-saudara yang lain dari ayahnya.
………………..

Panjang lebar…(luas dong…), aku memberikan pemahaman pada Andi, atas masalah istrinya ini. Aku menguatkan lagi hatinya, bahwa semua itu dilakukan demi kebaikan bersama. Tetapi seringkali kita malah, berprasangka yang tidak baik terhadap perbuatan orang lain.

Walah…kok malah nangis si Andi. Seorang Lelaki gagah, muharrik, pekerja keras…tiba-tiba sesenggukan, deras mengeluarkan air mata.

Andi menangis, setelah mendengar semua penjelasan yang aku sampaikan, bahwa selama ini Ia merasa orang yang sangat menjaga ‘idealisme’nya, sampe-sampe berhutang saja tidak mau, tetapi ternyata dengan mudahnya ia berprasangka buruk pada orang, bahkan istrinya sendiri.

Andi merangkul aku dengan kuat, dengan mata yang masih berkaca-kaca…
Walah… aku jadi sedih nih….

Jakarta, 30 Mei 2011
Abu Fathi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku