Es Cendol Bandung ‘Esmiralda’

(Artikel, kirim ke Buku Berkah 2)


Peristiwa Gayus di tahun 2010 itu menggemparkan hampir seluruh permukaan bumi Indonesia. Beritanya tiap hari memenuhi media masa. Mayoritas setasiun TV juga meliput kejadian itu. Sehingga menjadi bahan pembicaraan setiap orang, termasuk orang-orang di kampung sekalipun.

Adalah Bapakku, aku tahu persis kebiasaan Beliau sejak lama. Membaca adalah sepertinya menjadi kewajiban. Sehingga meja di ruangan tamu selalu dipenuhi tumpukan koran. Bisa jadi ada 2 atau 3 koran yang berbeda yang Beliau baca. Setiap pagi, setelah sarapan, menjadi kebiasaan Bapak membaca koran. Apa saja berita yang menarik Beliau baca, termasuk peristiwa Gayus ini.

Ternyata dari berita itu, semakin diberitakan semakin membuat gundah hati Bapak. Karena salah satu anaknya, yaitu aku, bekerja juga di instansi yang sama dengan Gayus. Bapak gundah karena mengkuatirkan aku, apakah anaknya akan ditangkap juga seperti Gayus? Apakah aku adalah termasuk pegawai yang curang? yang suka memperkaya diri? Sama seperti yang sudah dilakukan oleh Gayus. Itulah lintasan-lintasan pikiran Bapak tentang kegundahannya.

Berkali-kali Bapak selalu menanyakan ke kakak-kakak, apakah ada kabar dariku. Pernah juga Bapak menyuruh kakak, agar menelponku. Menanyakan kondisi aku di Jakarta. Tetapi permintaan Bapak itu tidak juga dilaksanakan oleh kakak-kakakku.

Akhirnya, dengan meminjam Handphone (HP) kakak, Bapak menelpon aku. Hari itu adalah malam hari, sekitar pukul 8 malam. Karena aku lihat di HP-ku ada panggilan dari kakak, kemudian aku angkat. Terdengar nun di jauh sana suara Bapak. Aku cukup takjub, karena tidak biasa Bapak yang memulai menelpon. Biasanya aku yang menelepon Bapak, untuk menanyakan kondisi kesehatan Beliau. Tetapi kali ini anomaly, artinya pasti ada yang sangat penting, sehingga Bapak yang langsung menelpon aku.

Setelah menanyakan kondisi kesehatanku, Bapak langsung bertanya tentang berita Gayus. Apakah aku juga korupsi seperti Gayus? Bapak mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan seputar itu. Apakah aku juga melakukan? Apakah juga akan diperiksa?. Semua pertanyaan Bapak itu aku jawab dengan santai, tenang, bahkan kadang-kadang dengan sambil bergurau. Karena memang aku tidak melakukan semua itu.

Cukup lama Bapak berbicara di HP, mencecar dengan banyak pertanyaan, sepertinya habis sudah semua jawaban yang aku sampaikan. Sampai-sampai aku harus mengeluarkan kartu truf mengatakan ke Bapak, biarlah waktu nanti yang membuktikan. Termasuk juga aku sampaikan alasanku yang terakhir, bahwa rekening bank aku termasuk bagian dari 16.000 rekening pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dilakukan penelitian, atas transaksi keuangan yang terjadi melalui rekening itu. Kataku juga ke Bapak, kalau seandainya ada transaksi yang mencurigakan, tentunya bisa menjadi alasan KPK untuk memeriksa aku.

Akhirnya Bapak mengakhiri pembicaraan di HP. Hatinya kembali lega, setelah Beliau mendengar langsung dari aku. Sebab berita itu benar-benar terus mengusik pikirannya. Hatinya menjadi semakin gundah, karena selama itu tidak ada kabar juga dari aku.

Bapak sangat perhatian terhadap masalah ini, karena Beliau tahu persis kondisi kehidupanku di kota Jakarta. Memang aku sering kali terbuka bercerita kepada Bapak. Tentang apa saja, termasuk berapa penghasilanku perbulan pun Bapak tahu.

Akupun sering menyampaikan ke Bapak, bahwa kehidupan ekonomiku seperti ini. Untuk ukuran Pegawai Negeri Sipil (PNS), aku katakan ke Bapak itu sudah lebih dari cukup. Mungkin berbeda dengan Saudara-saudaraku yang lain, boleh dibilang mereka jauh lebih mapan dibanding aku. Karena semua Saudaraku masing-masing mempunyai usaha yang cukup maju. Sementara di keluarga, hanya aku yang menjadi PNS.
…………………………

Sejak peristiwa itu, setiap kali aku menelpon Bapak, selalu Beliau menasehati aku untuk mempunyai usaha. Bukan tidak ada sebab Bapak menyuruh aku punya usaha, mustahil untuk mempunyai penghasilan lebih, hidup mapan, hanya mengandalkan gaji dari PNS. Belum lagi, ‘tradisi’ dari keluargaku yang hampir semuanya mempunyai usaha. Sehingga rasanya ‘aneh’, kalau bapaknya saja seorang wira usahawan, sementara tidak menurun ‘bakat’ usaha ke anaknya.

Nasihat Bapak untuk mempunyai usaha tersebut, terus mengiang di telingaku. Berhari-hari menjadi beban pikiranku. Aku sampaikan juga ke istri. Gayung bersambut, ternyata istripun sejalan dengan nasihat Bapak.

Aku menjadi bersemangat, keinginan untuk mempunyai usaha semakin membara, apalagi ada dukungan istri. Maka, aku mulai sering membaca-baca artikel tentang wirausaha. Aku juga mulai belajar pada Kakak-kakakku yang sudah tahu asam garam, dan jatuh bangunnya membangun usahanya.

Berbulan-bulan aku terus mencari tahu, tentang seluk beluk usaha. Dan terus berdiskusi dengan istri, kira-kira usaha apa yang cocok, yang bisa menghasilkan uang tambahan, yang tidak mengganggu kegiatan kerjaku dikantor. Aku juga mencoba ikut seminar-seminar tentang wira usaha, sehingga makin menambah wawasanku.

Setelah melalui pemikiran panjang, akhirnya istri memutuskan, untuk mencoba membuat usaha kerajinan tangan dari kain flanel. Kebetulan istri termasuk cukup ‘jago’ bidang kerajinan ini. Setelah mencari bahan kain flanel, dicobalah membuat bermacam-macam kerajinan tangan, tentunya dengan meniru model yang sudah ada.

Kemudian setelah terkumpul agak banyak, kerajinan tersebut ditawar-tawarkan ke teman, dan tetangga-tetangga. Ternyata, tidak mudah juga untuk mendapatkan order, apalagi dalam jumlah banyak. Hampir-hampir membuat putus asa istri. Sebagai suami aku memberi semangat istri, jangan sampai putus asa.

Seiring berjalannya waktu, sekarang istri mulai sedikit-sedikit mendapat pesanan kaos polos yang dihiasi gambar-gambar dari kain flannel. Lumayan, batinku, buat penghasilan seorang istri. Ditambah lagi Bapak sekarang sudah tiada, meninggal 13 Januari lalu. Maka seolah-olah menjadi ‘wasiat’ Bapak, bahwa kelak aku harus mempunyai usaha.

Sekarang ini, aku juga sedang mencoba berjualan es cendol bandung. Tentunya setelah banyak bertanya dengan tukang es cendol bandung yang ada di pinggir jalan. Dengan biaya pembuatan gerobak 4 juta rupiah, dan mengambil es cendolnya dari tukang itu (franchise), maka mulailah istri berjualan es cendol di disamping rumah. Alhamdulillah, hampir sebulan berjalan, pembelinya cukup banyak. Karena es cendolnya memang enak. Nggak bermaksud iklan lho….

Dari peristiwa Gayus itu, ternyata memang dampaknya luar biasa, terhadap Bapakku misalnya, hatinya dibuat menjadi gundah. Belum lagi terhadapku sendiri sebagai pegawai DJP makin merasakan. Dirumah, tidak sedikit tetangga setiap ketemu aku menanyakan ‘temannya gayus ya?’. Tetapi aku santai saja, bahkan aku katakan, ‘aku bukan temannya lagi’, karena dia sudah dikeluarkan dari DJP. Pernah juga ketika mengisi sosialisasi, ada saja yang nyelethuk, gayus-gayus.

Tetapi bersamaan dengan itu berdampak positip juga. Inilah barangkali hikmahnya, aku berhusnuzdon saja. Walaupun hasilnya masih ‘recehan’, tetapi hari ini aku sudah berani memulai usaha. Aku juga mulai berani ‘bermimpi’. Mimpi suatu saat, mempunyai usaha yang cukup besar, atau minimal bisa meniru ‘keahlian’ seorang Bapak. Yang bisa menjadikan anaknya-anaknya tidak kekurangan.

Maka aku bermimpi yang kecil dulu, kelak akan ada es cendol bandung yang melegenda “Es Cendol Bandung Esmiralda”, diambil dari nama istriku Husna Esmiralda. Menyaingi es cendol bandung ‘Elizabeth’ yang sudah terkenal saat ini.


Jakarta, 23 Juli 2011
Abu Fathi

Komentar

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar dengan tetap menjaga kesopanan

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku