Ibuku Wafat

 

Ibuku Wafat

Mendengar ibu di kampung dirawat di rumah sakit, aku segera pulang.  Naik kereta pagi, Sabtu sore sampai, langsung ke rumah sakit, tanpa mampir ke rumah Ibu dulu.  Sudah ada dua kakakku yang sedang menunggu, baru semalem Ibu menginap di rumah sakit. 

Menjelang malam kakak-kakakku pamit pulang ke rumah masing-masing.  Aku menjaga Ibu malam itu sendiri, memang kepulanganku sengaja untuk menunggu Ibu yang sakit. Tiap malam (sampai wafatnya Ibu), aku sendiri yang menginap di kamar perawatan, di sofa sebelah bed tempat Ibu berbaring.

Pagi-pagi, biasanya kakakku Mbak Nur datang ke umah sakit, sambil membawa sarapan buatku.  Aku sangat lahap sarapan makanan khas kampung, semisal soto garingan, atau gudangan.  Ini mengingatkanku, 32 tahun yang lalu, dari kecil sampai lulus SMA, selalu sarapan dengan itu, atau kadang dengan bubur pakai sayur letok dan ketan dikasih kuah kuah gula jawa. Ah… masa-masa itu, mungkin tidak bisa dirasakan anak-anakku sekarang, yang sejak lahir sudah tinggal di Ibu Kota.  Tidak ketemu dengan masakan seperti di kampung.

Pagi hari, saat gantian Kakaku jaga Ibu, aku pulang sebentar ke rumah Ibu untuk nyuci baju kotor. Selesai nyuci, setelah sholat dhuha, aku balik lagi ke RS.  Aku sendiri lagi menjaga Ibu, karena semua kakak dan adikku melanjutkan aktifitas hariannya masing-masing.  Sedangkan aku yang tinggal di luar kota, sengaja cuti selama 3 hari kerja untuk menjenguk Ibu.

Selama sakit, banyak saudara dan sahabat Bapak (Almarhum) menjenguk Ibu, mereka menanyakan kondisi Ibu.  Aku jelaskan, selama di ruang perawatan, kondisinya cukup stabil, masih bisa makan, dan bisa diajak bicara, bercanda, atau kadang-kadang bicara tetang memori waktu aku masih kecil. Tetapi hanya bisa berbaring, tidak bisa berdiri dan berjalan, karena kakinya bengkak, badan juga sakit semua katanya.

Selama nungguin, aku sering mengingatkan Ibu untuk solat. Ibu tidak ingat lagi waktu-waktu sholat. Setelah tayamum, lalu kupakaikan mukena untuk menutupi auratnya.  Sambil berbaring Ibu sholat.  Seringnya aku berdiri jadi Imam untuk sholat. Atau kadang-kadang Ibu solat sendiri, tetapi aku tuntun bacaannya, aku bisikkan ditelinga Ibu. Aku kadang-kadang menuntun Ibu untuk sering-sering berzdikir.

Hari ke-4 dirawat, aku baru tahu informasi dari Witing, adik iparku, harusnya saat Ibu pertama di rumah sakit, dokter meminta untuk cuci darah, ginjalnya kurang berfungsi, memang setahun sebelumnya Ibu pernah di rawat diagnosanya penyakit jantung. Mungkin ada korelasi jantung dan ginjalnya.  Tetapi oleh Kakakku Mbak Nur, tidak setuju kalau Ibu harus cuci darah, entahlah alasannya apa.

Maka aku dengan Kakakku Mas Sidik berembuk, agar Ibu segera cuci darah.  Ketika dokter visit ke ruangan, kami ajak diskusi lagi.  Keterangan dokter, memang benar bahwa Ibu harusnya cuci darah saat awal masuk, karena kondisinya masih memungkinkan untuk dilakukan operasi pemasangan alat cuci darah.  Tetapi ada keluarga Ibu yang tidak bersedia, sehingga tidak jadi dilakukan saat itu. 

Sekarang, hari ke-4 ini, kondisi Ibu semakin menurun, dan racun (istilahnya dokter) sudah menyebar ke seluruh tubuh.  Tetapi karena persetujuan keluarga, dokter mau mengusahan opearasi malam ini.

Kembali malam Selasa itu aku sendiri lagi menjaga Ibu.  Sempat ketemu dan mengobrol dengan teman, Hari, kakak kelas waktu SMP, yang sedang menunggu Kakaknya di rawat di kamar sebelah.

Menjelang tengah malam, dua suster datang ke kamar perawatan.  Ibu harus dipindah ke ICU, karena besok akan dilakukan operasi agar bisa cuci darah. Aku sempat tanya ke Suster, kenapa pindah ke ICU Sus? Kata Suster, biar terpantau kondisi Ibu, agar stabil saat dioperasi.  Tetapi feelingku berkata lain, kalau dipindah ke ICU bukannya kalau penyakitnya lebih parah.

Saat itu Ibu masih sadar, saat di cek-cek oleh Suster, bahkan aku dengar Ibu berucap “silit-silit” (dubur-dubur).  Ternyata Ibu eek di pampers. Sambil aku bantu angkat badan Ibu, Suster membersihkan eek ibu dan mengganti dengan pampers yang baru.

Suster memasang selang dihidung Ibu, karena tidak mau makan.  Saat dipasang selang itu, terlihat Ibu kesakitan, lalu tertidur. Suster juga memasang alat yang di jari-jari, memantau saturasi oxygen. Lalu dibawalah ke ruang ICU.

Sendirian malam itu aku segera beres-beres barang, memindahkan semuanya di serambi luar, samping ruangan ICU tempat Ibu dirawat. Tidak boleh tidur di ruang perawatan kalau tidak ada pasien.

Selasa malam, hari ke-5 Ibu di rawat, besok hari Rabu cutiku selesai, maka malam itu aku pulang ke rumah Ibu untuk packing, besok pagi aku harus balik ke Jakarta, naik kereta. Mumpung di rumah banyak yang nungguin.

Dari rumah sakit, karena dekat aku jalan kaki ke rumah Ibu.  Sambil jalan aku telpon istri, menjelaskan kondisi Ibu, masih belum stabil. Istri, berpendapat aku gak perlu pulang dulu, perpanjang saja cutinya. AKu setuju. Tetapi malam itu aku tetap packing, lalu bawa tas balik lagi ke RS.

Di RS ketemu Rahmat, bilang bahwa aku tidak jadi pulang, tapi tolong anterin ke Stasiun Klaten untuk reschedule tiket kereta.  Pakai APV hitam, diantar ke Stasiun. Selesai dari stasiun, mampir makan soto sebentar untuk ganjel perut, belum makan malam.

Hari ke-2 Ibu di ICU, kondisi Ibu belum sadar, matanya tertutup, tapi masih bernafas, sepertinya nafasnya agak berat.  Alat pemantau yang terpasang, terlihat grafiknya di layar monitor. Aku tidak faham, tetapi ada satu grafik saturasi oksigen yang aku tahu, ini dibawah normal.

Malam itu aku ngantuk berat, sayup-sayup sekitar pukul 2 Mas Karim (suami Mbak Nur) datang membangunkan Aku, tapi menyuruh tidur lagi saja, karena tahu aku ngantuk berat. Ia masuk ke ruang ICU, menjenguk dan mendoakan Ibu.

Aku terbangun sekitar pukul 3.30, pergi ke Masjid sholat tahajjud sambil menunggu waktu subuh.  Selesai sholat subuh balik ke ruang ICU, aku tilawah quran di samping Ibu yang masih belum sadar.  Dengan mata yang terpejam, dan tarikan nafasnya yang terlihat berat. Tak sengaja, aku perhatikan di sudut kelopak mata Ibu yang terlihat basah…seperti menangis. Wallahu’alam.  Aku terus aja membaca Quran.

Lalu seorang suster manghampiri aku, menanyakan apakah sudah selesai membaca qurannya? “ Iya, suster… ada apa?”

Suster menjelaskan bahwa, seharusnya Ibu harus diambil beberapa tindakan medis untuk operasi cuci darah, tetapi karena kondisinya belum membaik, maka tindakan itu tidak jadi dilakukan.  Maka, aku sebagai anggota keluarganya diminta untuk tanda tangan pernyataan bahwa tidak jadi dilakukan tindakan.

‘’Ibu mau dimandikan”, kata Suster.  Silahkan Bapak menunggu di luar ya.”

Aku menunggu di luar, disamping ruang ICU, ada celah jendela kaca sehingga masih bisa melihat Ibu di ruang ICU. Di ruang ini aku biasa tidur, dengan menggelar karpet.

Tidak lama Mbak Nur datang, membawa sarapan.  Aku makan dengan lahap. Tak Lama, tetangga Ibu di rumah, Bu Insiyah dan Kiky datang menjenguk Ibu.  Aku ngobrol sebentar dengan Bu Insiyah, lama tidak ketemu, karena aku tinggal di Jakarta.

Aku pamit balik dulu ke rumah, gentian Mbak Nur yang jaga Ibu.  Seperti biasa sampai di rumah Ibu, aku nyuci baju kotor. Setelah di jemur, langsung mandi. Mau sholat duha, lihat HP yang dari tadi aku taruh di meja ruang tamu, jauh dari jangkauanku.

Ternyata Mbak Nur miscall ke HP aku berulang-ulang, aku telpon balik. Mbak Nur, langsung bilang “cepat balik ke RS”, wah ada apa dengan Ibu, batinku.  Seketika lari aku pergi ke RS. Ditengah jalan ketemu Mbak Hermanah, “Ibu sudah nggak ada…”. Innalilllahi wainna ilaihi raajiun…hatiku begetar, membuncah, ngos-ngosan lari sekuat tenaga.

Sampai di RS, ketemu adikku Rahmat dan Witing, mereka berdua datang mau menjenguk Ibu, belum tahu pas di RS Ibu sudah wafat. (Rabu, 07 November 2018)

 

 

 

Manna, 18 Juni 2022

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku