Askes…Oh Akes…

Setelah sehari menginap di kamar perawatan kelas II, aku memtuskan untuk minta pindah ke kelas I, dan sukses, tidak lama menunggu, dapatlah kamar perawatan kelas I.

Istriku harus dirawat dulu, tidak langsung dioperasi, karena penyakit asmanya sedang kambuh, kandungan oksigen dalam darahnya rendah, sehingga kalau harus dibius sebelum operasi akan berakibat buruk. Setelah dirawat selama tiga hari, oleh rujukan dokter, pagi ini istriku sudah bisa dioperasi. Tetapi tiba-tiba ada telepon masuk, diruang perawatan istriku, mencari aku.

Aku berlari-lari meninggalkan ruangan tempat istriku sedang dirawat. Tergopoh-gopoh aku memasuki ruangan di salah satu rumah sakit negeri terbesar yang ada di kota Jakarta. Sudah ada seorang perempuan cantik menyambutku, yang aku tebak mungkin petugas adminstrasi.

“Maaf…, benar ini bapak Agus…?” Tanya wanita cantik itu yang ternyata bernama Dina.
“Ya…, benar saya Agus, saya suami ibu Husna.”
“Begini pak Agus…ada yang mau saya sampaikan ke Bapak…”

Lalu dengan panjang lebar (luas dong,...kan panjang lebar) Ibu Dina menjelaskan kepadaku, bahwa sebentar lagi kan istri akan dioperasi pengambilan batu empedu. Dan untuk keperluan operasi itu, dibutuhkan peralatan yang cukup mahal, nama operasisanya Laparoscopy (kalau nggak salah…he…he).

Peralatan itu belum ada dirumah sakit ini maka harus sewa, sehingga biaya sewanya juga mahal (waktu itu Ibu Dina menyebutnya dengan istilah biaya sewa). Nah untuk itu Ibu Dina menanyakan, ada nggak kesediaan dananya untuk biaya sewa peralatan itu. Sebab dana untuk biaya sewa peralatan itu harus dibayar dimuka (deposit), sebelum operasi berlangsung.

Dalam hati saya, busyet…pakai tanya-tanya biaya segala. Padahal kan waktu mau masuk rumah sakit ini aku nggak bilang orang miskin? Walah…apa karena aku waktu masuk rumah sakit ini pakai kartus Askes ya? Oh, ya bisa jadi benar. Sebab selama ini, kata teman-teman yang sudah sering pakai kartu Askes, ada keyakinan kartu Askes sama dengan pegawai negeri (PNS). PNS itu nggak punya duit…, nggak punya duit ya…artinya miskin.

Yang aku heran adalah…kok diminta uang mukanya sebelum operasi ya? Biasanya kan waktu mau masuk? Saat mencari kamar perawatan? Ini kok…sudah perawatan selama 3 hari. Eh…giliran tiba saatnya operasi baru diminta deposit…pakai alasan untuk sewa peralatan lagi…Aneh aja.

Jangan-jangan apa karena Paman istriku, yang dokter bedah itu, ada di rumah sakit ini? Sehingga istriku dapat keistimewaan, masuk dulu, dapat kamar, uang muka (deposit) bayar belakangan. Pantesan waktu akan masuk (Check In) rumah sakit ini…lama banget nunggunya. Wah panjang juga nih ceritanya…waktu mau masuk ruang perawatan. Pembaca nggak sabar ya…? Nanti deh kuceritain belakangan. Janji kok…

Setelah keluar dari ruangan administrasi itu, segera kucari Tante yang wakti itu ikut menunggui istriku di kamar perawatan. Aku bermaksud meminjam uang Tante dulu, karena mendesak, sementara uangku masih berupa kertas Deposito (ssttt…. pembaca nggak boleh nebak-nebak nilainya ya…kan pegawai negeri ini…sudah ketahuan isinya).
------------------

Oh ya, sebelumnya aku jelaskan dulu…Istri terkena penyakit batu empedu. Ini diketahui setelah sebelumnya ada gejala sakit perut yang hebat (kolik, bukan nama pelawak lho…), sampai-sampai istri berguling-guling dan tidak bisa bangun.

Sebenarnya sudah sering gejala sakit perut ini datang, tetapi biasa hanya minum obat saja. Itupun obat yang diresepkan oleh Paman, yang kebetulan seorang dokter bedah vaskuler. Setelah periksa ke dokter (bukan Paman), dari hasil rontgen bahwa jelas terlihat terdapat batu (kalau gak salah… ada 3) dalam empedunya. Saran dokter tersebut, agar sakit perutnya tidak kambuh lagi, maka jalan satu-satunya harus operasi pengambilan empedu. Hah…empedunya diambil, aku sempat kaget. Nggak salah dokter…aku keheranan. Lalu Dokter itu menjelaskan, bahwa seseorang dapat hidup normal kok tanpa ada empedunya. Bahkan presiden kedua negeri ini sejak tahun 1975 juga tidak ada empedunya…(bener gak sih informasi ini? he…he…).
------------------

Akhirnya saat yang ditentukan tiba, pagi itu istriku masuk ruang operasi. Tetapi yang unik adalah saat operasi berlangsung, aku harus mondar-mandir ke apotik untuk mengambil obat yang digunakan pasca operasi. Obat itu sebelumnya diresepkan oleh dokter, dan harus ditebus ke apotik. Dalam hati saya, bukannya obatnya sudah tersedia di ruang operasi, kenapa aku harus ditebus dulu…? Aneh... Gimana nanti kalau pasien sudah selasai dibedah?…eh obatnya belum ada. Wah bisa-bisa makin lama tuh perutnya dalam kondisi menganga…Nggak ditutup-tutup lagi. Kan nunggu obatnya? Kayak tahu aja…prosedur operasi. Namanya juga menduga-duga…

Lagi-lagi naluri PNS-ku muncul, aku menduga lagi, oh bisa jadi karena menggunakan Askes, yang tidak semua obat ditanggung oleh Askes, sehingga harus dibeli…Lha kalaupun itu tidak ditanggung Askes, kenapa tidak disediakan saja obat itu? Nanti kan tinggal ditagih saat mau check out.

Operasinya tidak lama, hanya sekitar 45 menit, dan…ternyata tidak diperlukan pembedahan yang lebar, seperti kalau mau melahirkan dengan cesar?

Ada empat batu di dalam empedu istriku, yang tiga sebesar-besar biji jambu air, satu lagi agak kecil. Batu-batu itu cukup keras, seperti batu cadas gitu.., warnanya juga kekuningan, buram. Sampai sekarang batu itu masih disimpan, buat kenang-kenangan.

Uniknya beberapa saat kemudian, setelah istriku siuman dari pengaruh obat biusnya, dapat langsung berdiri tegak, bahkan siangnya sudah diperbolehkan pulang. Karena memang tidak luas dilakukan pembedahan di perut istriku, hanya sekitar 2-3 cm, ada tiga titik. Ini mungkin yang menjadikan pemulihan pasca operasinya juga cepat.

Biaya yang operasi saat itu tidak lebih dari Rp 5 juta, tahun 1998, belum lagi ditanggung oleh Askes Rp 1 Juta dan Asuransi yang lain Rp 3 juta, sehingga aku hanya mengeluarkan uang sejumlah Rp 1 jutaan. Terima kasih aku sampaikan saat itu pada dr. Ibrahim (Almarhum), karena telah membebaskan biaya operasinya, Beliau adalah teman karib Pamanku. Coba kalau aku harus bayar juga…
Inilah sepenggal kisahku menggunakan kartu Askes. Oh Askes…Askes…
------------------

Flash Back…aku mau cerita saat awal masuk rumah sakit ya…

Dengan membawa surat rujukan Askes dari dokter Puskesmas, dan hasil rontgen perut istriku, aku mendaftar di bagian administrasi untuk check ini, mencari kamar. Saat itu dibilang kamar penuh, harus menunggu dulu pasien yang keluar hari ini. Aku tunggu…cukup lama, karena saat itu memang aku percaya pada petugas administrasi.

Aku juga belum memberitahu Paman, seorang dokter bedah vaskuler, yang juga bertugas di rumah sakit ini. Aku sebenarnya mau mencoba mengurus sendiri, tetapi karena sepertinya akan lama lagi, akhirnya kutelpon Beliau, dan aku sampaikan maksudku.
Tidak lama kemudian Paman datang, bersama seorang Dokter yang masih muda. Paman lalu minta tolong ke Dokter muda tersebut untuk mengurus semua keperluan aku.

Termasuk mengurus berkas-berkas yang diperlukan oleh pasien yang menggunakan Askes. Sampai-sampai fotokopi pun dilakukan sendiri oleh Dokter muda ini. Dalam hatiku…, baik banget ya dokter muda ini. Jarang lho…ada orang sebaik ini.

Eh…kemudian aku baru tahu ternyata dokter muda ini sedang mengambil dokter spesialis, dan seniornya adalah Paman. Pantesan... Sebab selama ini aku tahulah sedikit…kalau ada dokter junior yang sedang mengambil spesialis, maka harus mau ‘diplonco’ dulu sama seniornya. Rupanya dokter muda ini sedang menjalani ‘plonco’… ha…ha…

jakarta, 23 Mei 2011
(Tulisan ini saya kirimkan ke MEDDIKPUBLISHING, berharap untuk di muat dalam buku Antologi Curhat Pelayanan Rumah Sakit, Klinik, dan Dokter)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku