Rumah Sakit yang ‘Komersil’

Hari itu Kamis tanggal 13 Januari 2011, ketika masih ada di kantor, saya mendapat telpon dari Kakak di kampung, yang menyampaikan berita bahwa, Bapak meninggal dunia. Maka saya harus pulang kampung saat itu juga. Setelah minta izin pada atasan di kantor, secepat kilat saya pacu motorku pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, sudah banyak Saudara berkumpul, ikut berduka cita. Segera istri saya menyiapkan semua perlengkapan. Agar masih bisa melihat jenazah Bapak, saya harus pulang dengan pesawat. Sementara istri dan anak-anak saya menggunakan mobil pribadi.

Anak saya yang pertama, ‘Afaf, kelas 4 SD, merengek menangis, ngotot untuk minta ikut bersama istri saya pulang ke kampung, rumah neneknya. Padahal sebenarnya sudah 2 hari sebelumnya tidak masuk sekolah, karena badannya panas tinggi. Memang belum saya bawa ke dokter, karena rencananya kalau tiga hari panas badan anak saya belum turun juga, maka akan saya bawa ke dokter, sekaligus cek darahnya di laboratorium.

Keesokan harinya mobil yang ditumpangi ‘Afaf sampai di rumah Ibu, tetapi panas ‘Afaf juga belum turun. Sepanjang perjalanan ‘Afaf tiduran saja, tidak seperti biasanya kalau pulang kampung begitu ceria, tetapi kali ini tidak. Sepanjang perjalanan itu badanya terus panas, kalaupun turun hanya sebentar, setelah dikasih obat penurun panas.

Hari berikutnya, bahkan badannya semakin lemas, tidak mau makan. Akhirnya hari itu juga, hari ke-5 panas badannya, atas saran Ibu saya, ‘Afaf saya bawa ke sebuah Rumah Sakit yang dimiliki oleh organisasi Islam terbesar kedua di negeri ini. Rumah sakit itu bagus, luas, bersih, dan cukup lengkap peralatan medisnya. Walaupun terlihat juga sedang banyak dilakukan renovasi. Untuk ukuran daerah tingkat kecamatan, rumah sakit itu bahkan termilang mewah.

Saya bermaksud hanyalah ke laboratoriumnya saja, untuk memeriksa darah. Tetapi setelah bertanya ke bagian informasi, ternyata tidak bisa. Untuk memeriksa darah, harus ada surat rujukan dari dokter. Padahal kalau beberapa rumah sakit, atau klinik laboratorium, yang ada di Jakarta, selama ini yang biasa saya lakukan, untuk memeriksa darah tidak harus ada surat rujukan dokter.

Tetapi karena kondisi yang mendesak, akhirnya aku ikuti prosedur rumah sakit itu. ‘Afaf di bawa ke UGD, dan disana sudah ada beberapa perawat dan seorang dokter jaga, dokter umum.

Sesampai di UGD, ‘Afaf langsung ditidurkan di tempat tidur ruang perawatan. Oleh perawat langsung ditawari opname, karena ‘Afaf terlihat lemas katanya. Padahal saya belum ngomong apa-apa ke perawat tersebut, bahkan sepatah katapun belum. Tentunya saya tidak mau, pertimbangannya adalah, kalau diopname paling tidak membutuhkan waktu di rumah sakit tersebut 3-4 hari. Sementara saya harus balik lagi ke Jakarta, belum lagi ‘Afaf yang sudah bolos sekolah beberapa hari ini karena sakit. Akan repot juga mengurus ‘Afaf yang diopname karena jauh dari rumah.

Tetapi perawat tersebut ngotot, bahwa ‘Afaf harus diopname. Karena saya juga ngotot tidak mau, kemudian perawat tersebut menghampiri ke dokter jaga, seorang muslimah berjilbab, sambil berbicara pelan, yang saya tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.

Setelah itu, Dokter mendatangi ke tempat tidur dimana ‘Afaf sedang terbaring lemah disitu. Setelah memeriksa, dokter itu juga menyarankan untuk diopname saja. Tetapi saya tetap tidak mau. Lagi-lagi saya sampaikan semua alasan, kenapa minta rawat jalan saja untuk ‘Afaf.

Saya sampaikan juga ke dokter, bahwa awalnya sebenarnya hanya bermaksud periksa darah saja, tetapi dokter itu justru menyarankan bahwa ‘Afaf harus diopname.
Lalu saya mencoba mencari cara, supaya ‘Afaf segera diperiksa darahnya, saya mohon ke dokter tersebut untuk dicek dulu kondisi darahnya, kalau nanti memang harus dirawat, ya mau nggak mau, kata saya waktu itu.

Dokter itu setuju, akhirnya diambil juga darah anak saya, ‘Afaf, tentunya setelah ada rujukan dari dokter jaga tersebut. Setelah selesai pengambilan darah oleh seorang perawat, saya bermaksud membawa lagi ‘Afaf untuk pulang ke rumah ibu. Tetapi ternyata tidak boleh sama dokternya, katanya harus dirawat dulu, masih terlihat lemas. Saya mengatakan, nanti setelah ada hasil dari laboratorium atas pemeriksaan darahnya, dan itu harus diopname, maka anak saya akan saya bawa lagi ke rumah sakit. Begitu janji saya ke dokter.

Satu jam kemudian saya datang lagi ke rumah sakit untuk mengambil hasil laboratorium darah. Setelah dibaca oleh dokter, maka disarankan untuk diopname, karena ada gejala sakit typhus pada anak saya.

Dari kertas hasil laboratorium yang saya lihat, memang dari delapan item yang dilakukan pemeriksaan darah, ada empat item yang menyatakan positif. Dan seingat saya, tahun 2007 ‘Afaf pernah dirawat di rumah sakit juga karena typhus, sehingga kata dokter saat itu, memang virus typhus itu bisa muncul lagi suatu saat, kalau kondisi daya tahan tubuh itu lagi turun. Bisa jadi ini adalah virus bawaan dulu sewaktu anak saya terkena sakit typhus, karena memang pengobatan itu tidak serta merta dapat menghilangkan semua virus itu.

Lalu saya teringat, bahwa saya punya keponakan seorang analis laboratorium rumah sakit di Purwokerto, barangkali punya opini lain, atas kondisi ‘Afaf saat itu.
Setelah bergeser agak menjauh dari dokter, melalui telepon, saya bacakan semua hasil laboratorium darah itu. Kata keponakan, bahwa ‘Afaf masih bisa kok di rawat jalan, tidak harus diopname.

Dengan berdebat cukup lama juga, akhirnya dengan berat hati, dokter itupun akhirnya membolehkan ‘Afaf untuk rawat jalan, tentunya setelah saya menandatangani surat pernyataan bahwa semua resiko akan menjadi tanggung jawab saya, karena saya menolak untuk opname.

Sembari sebelumnya mengambil obat dan membayar semua biayanya, dengan hati lega saya segera pulang ke rumah ibu, karena harus juga mempersiapkan keesokan harinya untuk balik lagi ke Jakarta.

Dan ternyata, bisa jadi benar rumor yang beredar di daerah itu, bahwa rumah sakit itu sedang banyak membutuhkan banyak biaya, karena sedang ada renovasi besar-besaran. Sehingga setiap pasien yang datang ke rumah sakit, seringkali ‘dipaksa’ untuk opname. Dengan begitu, akan cepat memperoleh dana untuk menutupi biaya renovasi yang konon kabarnya, untuk melakukan renovasi tersebut, dananya meminjam pada sebuah bank swasta tertentu.

Sebenarnya informasi tentang ‘rumor’ rumah sakit ini sudah aku dapatkan dari Kakak saya. Makanya, sebelum datang ke rumah sakit tersebut, saya sudah mendatangi rumah sakit yang lain, tetapi karena sudah larut malam, petugas laboratoriumnya tidak ada, sudah pulang.

Itulah pengalaman saya sewaktu berobat di rumah sakit tertentu, di daerah. Terlepas apakah benar atau tidak ‘rumor’ itu, yang jelas pengalaman saya ini bisa menguatkan dugaan sebagian besar masyarakat di daerah itu, bahwa rumah sakit itu sangat ‘komersil’ begitu masyarakat itu menyebutnya.

Jakarta,20 Mei 2011
(Tulisan ini saya kirim ke MEDDIKPUBLISHING, berharap untuk dimuat di Buku Antologi Curhat Pelayanan Rumah Sakit, Klinik, dan Dokter)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku