Sakitnya Hati Seorang Pasien

Hati istrinya membuncah, sakit yang terperi, bagai tersirat sembilu, tetapi untungnya Ia bisa menahan emosi itu, sehingga tidak tampak wajahnya yang kesal.

Bahkan sepertinya Ia wanita yang tegar, tidak cengeng, dan tidak mau menampakkan muka yang ‘kecewa’ di depan seorang dokter wanita yang sedang memeriksanya.

Walaupun sebenarnnya bisa saja marah, bahkan haknya sebagai seorang pasien yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang baik. Tetapi Ia tahan itu semua.

Itulah perasaan istri temanku, yang Ia tumpahkan semua ‘kekesalannya’ pada suaminya, yang kebetulan tidak mendampingi saat istrinya memeriksakan kandungannya. Tetapi justru di depan Suaminyalah Ia tidak lagi menjadi wanita yang tegar. Sehingga sifat asli kewanitaanya keluar, Ia sesenggukan di depan suaminya. Menangis sepuasnya…

Untungnya juga, istrinya mempunyai seorang suami yang tangguh. Sehingga suaminyalah yang selalu membesarkan hati istrinya untuk tetap bersabar. Karena, hanya dengan sabar dan terus berikhtiar maka semoga Allah mengabulkan doa mereka berdua untuk segera memperoleh momongan.

Itulah sepenggal curhat istri temanku yang memeriksakan kandungannya…

Cerita lengkapnya begini…

Suatu hari… istri temanku mengungkapkan keinginannya untuk memperoleh hasil ‘second opinion’ dari dokter kandungan yang lain.
“Barangkali ada pendapat lain…”, gumam istrinya pada sang suami.
“Toh, dokter juga manusia…, bisa saja salah atas setiap diagnosanya”. Begitu alasan istrinya, sehingga merengek-rengek pada suaminya, minta diantarkan ke sebuah rumah sakit.

Akhrinya, setelah dengan berbagai pertimbangan, termasuk karena dapat menggunakan kartu Askes, maka diputuskan pergi ke sebuah rumah sakit milik pemerintah khusus ibu dan anak yang cukup besar di kota Jakarta. Harapan mereka adalah, dengan menggunakan kartu Askes, maka akan memperolah keringanan biaya.

Alih-alih mendapat keringanan biaya, tetapi yang terjadi bukan mendapat keringanan biaya, tetapi ‘keringanan’ nasihat yang keluar dari sang dokter.

Sebenarnya selama ini mereka sudah memeriksakan kandungannya pada suatu klinik di dekat rumahnya. Dokternya seorang wanita, yang membuka klinik disamping rumahnya yang luas. Sudah hampir satu tahun mereka berdua rajin mendatangi klinik tersebut. Dua minggu sekali dengan diantar suaminya, sang istri memeriksakan kandungannya. Bahkan setiap kali memeriksakan kandungannya rela mengantri lama, karena pasiennya yang banyak.

Sudah banyak juga tindakan yang diambil oleh Dokter di klinik ini, berbagai jenis obat juga sudah diresepkan oleh dokter. Termasuk juga sudah tiga kali diberikan tindakan ‘ditiup’, begitu istilah dokternya, yaitu dengan memasukkan obat tertentu…atau apalah istrinya juga tidak tahu. Dengan cara, menyemprotkan pada organ kewanitaan yaitu saluran atau tempat dimana sel telur yang sudah matang itu nantinya akan dibuahi oleh sel sperma. Sehingga diharapkan, saluran itu melebar, dapat dilalui oleh sel sperma, dan berhasil membuahi sel telur yang sudah matang.

Bagi mereka, pasangan yang sudah hampir dua tahun menikah, biaya berobat tersebut cukup menyedot kantong suaminya. Boleh di bilang mahal, apalagi penghasilan suaminya yang hanya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Karena saat itu, tahun 1999, saya adalah teman sekantronya, sehingga tahu persis, berapa sih penghasilan sebulan temanku yang hanya seorang PNS golongan II d.
……………………..

Setelah tiba hari yang mereka tentukan, maka pergilah suami istri itu berdua pergi ke rumah sakit tersebut. Dengan berbekal surat rujukan dari dokter yang ada di Puskesmas, mereka mendaftar dengan menggunakan kartu Askes. Padahal sebenarnya malam itu juga merupakan jadwal periksa di klinik dekat rumahnya, tetapi karena sudah berniat dari awal, maka…bolehlah sekali-kali tidak memeriksakan kandungan ke dokter yang sudah hampir setahun tersebut, untuk mencari alternatif, begitu maksud istrinya.

Ruangan dokter kandungan yang berpraktek pada saat itu cukup banyak, mungkin ada sekitar empat ruangan. Dokter yang berpraktekpun ada dokter laki-laki, dan ada dokter perempuan.

Dari awal, istri temanku ini tidak mau kalau yang memeriksa kandungannya adalah bukan dokter wanita. Sebab ia seorang muslimah yang memakai jilbab, yang berprinsip haram hukumnya membuka aurat di depan laki-laki yang bukan muhrimnya.

Kecuali darurat misalnya, tidak ada dokter kandungan yang wanita.
Setelah mendapat nomor antrian, tibalah giliran istri temanku ini dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter kandungan. Saat itu sang suami sedang pergi, tidak mendampingi istrinya, untuk keperluan kantornya, karena hari itu juga tidak libur kerja.

Ternyata ruangan tersebut, dokter kandungannya adalah seorang laki-laki, sehingga istri temanku menolak untuk diperiksa. Walaupun sebenarnya saat ketika mendafar dibagian administrasi sudah menyampaikan ke petugas, bahwa hanya mau diperiksa oleh dokter yang wanita juga. Karena melihat dipapan praktek, bahwa saat itu ada dua dokter kandungan wanita yang sedang berpraktek.

Istri temanku tetap menolak, tidak mau masuk ke ruangan pemeriksaan, sehingga harus rela didahului oleh pasien lainnya.

Dengan sambil bersungut-sungut petugas administrasi itu, mengatakan pada istri temanku,
“Kalau pakai Akes…, gak bisa milih-milih dokter…, disini pasiennya banyak…”
“Ya sudah…, tunggu aja…”

Begitu ketusnya petugas administrasi itu mengatakanya di depan istri temanku.

Tetapi karena memang masih berharap untuk tetap dapat memeriksa kandungannya di rumah sakit yang cukup terkenal ini, maka istrinya masih setia menunggu giliran untuk dipanggil lagi.

Akhirnya, benar juga, istrinya dipanggil untuk pemeriksaan dengan seorang dokter wanita. Dokter tersebut sepertinya orang Medan, Batak, karena nama belakangnya menggunakan nama salah satu marga dari Medan.

Dokter terebut berperawakan besar, dengan dandanan yang cukup menor, karena terlihat dari lipstiknya yang tebal, dan minyak wangi yang wah…

Tidak seperti pada umumnya selama ini dokter yang Ia temui, dokter tersebut sama sekali menanyakan keluhan yang dirasakan oleh pasien, yaitu istri temanku. Dokter itu juga tidak banyak bicara, atau hanya sekedar menunjukkan muka yang bersahabat pun juga tidak, apalagi melihat muka pasiennya.

Dengan terus menunduk sambil menulis di suatu kertas, maka dengan ketus juga, sama seperti petugas administrasinya, mengatakan bahwa kalau pakai kartu Askes, gak bisa milih-milih, masih banyak pasien yang antri katanya.

Di kertas tersebut, Dokter itu menulis semua urut-urutan tindakan untuk pasien yang sudah lama menikah tetapi belum diberikan kehamilan. Nah, urut-urutan tindakan itu semua harus dilalui, tidak boleh tidak. Dan dokter menanyakan apakah istri temanku itu sudah melakukan itu semua? Kalau belum, tidak perlu lah diperiksa kandungannya. Begitu kata dokter itu.

Ingin rasanya istri temanku cepat-cepat keluar dari rungan itu, kalau tidak mengingat bahwa dalam agama Islam yang mengajarkan sopan santun, maka Ia pun akan membalas sakit hatinya, minimal dengan ucapan, yang hak-hak atasnya sebagai pasien tidak diberikan. Tetapi Ia urungkan. Ia memilih diam dan keluar dengan sambil mengucapkan terima kasih pada dokter tersebut.

Baru kali ini, seorang dengan profesi terhormat, dokter, yang mempunyai hati tidak sesuai dengan profesi terhormatnya. Begitu batin istri temanku dalam perjalanan pulangnya menuju rumah.
……………….

Saat ditulis kisah ini, pasangan suami istri tersebut sekarang sudah dikarunia empat anak yang lucu-lucu. Alhamdulillah….


Muhammad Halik Amin
Jakarta, 23 Mei 2011
(Tulisan ini dikirim ke MEDDIKPUBLISHING, berharap untuk dimuat dalam buku Antologi Curhat Pelayanan Rumah Sakit, Klinik, dan Dokter)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku