Ayahku Seorang Pekerja Keras

Aku tidak tahu sejak kapan ayahku ini merantau ke Pulau Jawa. Aku juga tidak tahu, ternyata bahwa aku bukan anak asli daerah ini, yang menjadi tempat tinggal keluargaku saat ini. Bahkan aku lebih fasih menggunakan bahasa jawa, dibanding bahasa asli dari daerah asalku, yaitu bahasa Sunda.

Aku tahu kalau ayahku seorang perantau, setelah aku kira-kira berada di bangku sekolah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mungkin karena waktu SMP itu sudah bisa berfikir kali ya…? Bahwa saat SMP itu, ketika sedang berkumpul dan bercanda dengan teman-teman, seringkali menyebut-nyebut nama bapaknya. Tetapi tidak untuk bermaksud mengolok-olok, hanya bercanda saja.

“Hey…cah mbandungan…” begitu seringkali teman-teman di rumah atau disekolah menjuluki aku sebagai ‘cah mbandungan’. Aku juga tidak tahu sebabnya, kenapa disebut itu, mungkin karena asalku dari dataran Sunda, dan teman-teman menganggap bahwa semua yang datangnya dari Sunda itu Bandung, logat orang jawa jadi mbandung…, he…he…lucu juga ya. Padahal kedua orang tuaku berasal dari daerah Ciamis, bukan dari Bandung…

Tetapi aku justru senang dengan julukan itu, sebab didaerah tempat tinggalku, banyak sekali orang perantau dari Sunda, yang membuat koloni. Dan sebagian besar dari koloni orang-orang Sunda ini dikenal sebagai pekerja keras, tidak sedikit pula yang cukup sukses. Sehingga mereka mampu membuat rumah sendiri di daerah perantauan itu, tentunya hasil dari usahanya.

Termasuk orang tuaku, secara pribadi aku mengenal ayah, sebagai pribadi yang ulet, pekerja keras. He…he…tidak bermaksud narsis lho, mentang-mentang ayahnya sendiri. Dibilang sukses… nggak juga, tetapi ternyata mampu mendirikan bangunan diatas tanah seluas hampir 800 m2 untuk rumah dan usaha pembuatan krupuknya. Sampai saat ini usaha pembuatan krupuk itu masih dijalankan oleh Ibuku yang dibantu oleh kakak yang pertama, seorang perempuan.

Usaha pembuatan krupuk itulah, yang telah mampu mengantarkan semua anaknya menjadi orang-orang yang mandiri, yang tidak lagi menggantungkan pemberian dari orang tuanya. Anak-anaknya semua sudah mempunyai penghasilan sendiri, walaupun saat itu usaha ayah saya masih berjalan. Dari keenam anaknya yang ada, empat orang mempunyai penghasilan sebagai pedagang, mengikuti jejak ayah, sementara seorang anaknya sebagai karyawan swasta, dan satu lagi sebagai pegewai negeri, (anaknya ada tujuh, satu meninggal yang nomor dua, saat berumur satu tahun).

Dari usaha itu juga, mampu menyekolahkan ke-enam anaknya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dibanding pendidikan ayah yang Sekolah Dasar (SD) saja tidak sampai lulus. Bahkan ada salah satu orang anaknya, saat ini sedang mengambil program doktoral.

Dari usaha pembuatan krupuk itu, sehingga mengantarkan kedua orang tuaku untuk menunaikan ibadah haji dua kali. Alhamdulillah…rukun Islam sudah terpenuhi semua.
Saat ini usaha pembuatan krupuk masih berjalan. Ada alasan yang penting, kenapa sampai hari ini, usaha pembuatan krupuk itu masih dijalankan…, walaupun ayah telah tiada. Bukan lain dan bukan tidak, karena masih banyak orang, lebih lagi tetangga, yang memperoleh penghasilan dari usaha yang dijalankan oleh Ayah. Sehingga ketika ayah meninggal, semua anaknya sepakat untuk tidak menutup usaha itu, sampai nanti usaha itu tidak lagi mendatangkan manfaat pada orang lain.
………………….

Ngomong-omong tentang ayah…wah sepertinya banyak sekali kenangan aku bersamanya. Kenangan sebagai anak nomor enam dari tujuh semua anaknya. Kenangan menjadi anak yang mengalami masa kecil yang indah, kenangan ketika setiap habis mengambil raport selalu diajak makan di restoran, kenangan uniknya ayah yang mematikan listrik ketika anak-anaknya masih asyik nonton TV sementara adzan maghrib sudah selesai berkumandang, kenangan menangis ketika dipaksa mengaji qur’an setelah sholat maghrib. Masih banyak lagi kenangan bersama ayahku.

Ah… jadi teringat aku semua kebaikan yang ada pada ayah. Banyak sudah yang menjadi pelajaran berharga bagi saya sebagai anaknya. Termasuk satu sisi saja misalnya, aku mengenal ayah sebagai pribadi yang ulet dan pekerja keras, sehingga sampai hari inipun… jiwa pekerja keras itu, masih menancap jelas di ingatan memoriku.

Bagimana tidak menancap di ingatan memoriku…?

Waktu itu… aku sudah sekolah, tepatnya di Taman Kanak-kanak (TK). Suatu hari, walau masih TK, aku ikut bekerja membantu usaha ayah yang baru saja dibuka, yaitu usaha pembuatan krupuk. Aku ikut membawa adonan, yang siap untuk dicetak menjadi krupuk mentah. Tetapi karena adonan itu terlalu berat, dibanding badanku yang kecil, maka adonan itu jatuh, berserakan di lantai, menjadi kotor juga.

Melihat itu ayahku, tidak marah…tetapi segera mengambil adonan yang jatuh berserakan di lantai itu, dan membersihkannya lagi. Lalu disuruhnya aku membantu pekerjaan yang lain saja…

Saat itu umur ayahku kira-kira 45 tahun, usia yang kata orang-orang matang untuk seorang pria, sehingga dengan kematanganya juga, usaha krupuk yang mulai dibuka ayahku adalah usaha yang ketiga, setelah berhasil juga menjadi peternak ayam petelor, dan menjadi agen kreditan barang-barang keperluan rumah tangga. Bayangkan…baru umur 45 tahun, sudah banyak usaha yang dijalankan oleh ayahku. Luar biasa untuk orang yang pendidikan SD saja tidak lulus…ah ayah, aku jadi iri mengenangmu.

Belum lagi usaha peternakan ayam petelornya…, hampir tiap hari aku makan telor. Dan alangkah senangnya waktu itu…ketika mendapati telor yang lebih besar dibanding yang biasanya. Telur yang besar itu biasanya tidak dijual. Setelah dipecah untuk digoreng…, ternyata kuning telurnya ada dua buah. Ah…telor… telor…setiap membuka kulkas saat ini, ada telor, terbayang waktu kecil aku ikut membantu ayah memberikan makan ayam-ayam.

Satu lagi… usaha pengkreditan barang-barang rumah tangga…, inilah awal dari semua usaha yang telah dijalankan ayahku. Sewaktu ayah muda, merantau ke tanah jawa, masih bujangan, kira-kira umur 14 tahunan, ayahku ikut orang menjadi ‘tukang kredit’ keliling. Lama-lama kelamaan menjadi ‘bos’ kecil-kecilan, dan mulai mempunyai beberapa ‘anak buah’ yang menjadi ‘tukang kredit’, sementara ayahku memakai motor untuk mengedarkan barang-barang kreditannya. Setelah menjadi agen barang-barang kreditan itu, ayahku mulai berfikir untuk mengembangkan usaha yang lain, yaitu usaha pembuatan krupuk.

Dan ketika usaha pembuatan krupuk semakin membesar, maka ayah menutup dua usaha yang sebelumnya dijalankan yaitu usaha peternakan ayam petelor, dan agen pengkreditan barang-barang rumah tangga.
………………………..

Saat ini ayahku telah tiada, beliau telah perpulang ke Rahmatullah tanggal 13 januari 2011 yang lalu, meninggal dalam usia 73 tahun, usia yang telah melebihi usia Nabi Muhammad ketika meninggal. Semoga Allah memberikan kenikmatan pada Almarhum ayah saya, menerima semua amal baiknya, mengampuni semua dosanya, dan menempatkan di Surga-Nya Allah SWT.

Walaupun ayah telah meninggal, aku bertekad untuk menjadi orang yang menjadikan pahala ayahku tidak terputus, terus mengalir. Ya… tidak lain dan tidak bukan, menjadi anak yang solih, yang selalu mendoakan orang tuanya…

Dan kini… kalau aku bandingkan dengan kondisi sekarang…

Kini umurku hampir menginjak kepala empat, tetapi dengan kondisi yang jauh lebih enak saat aku kecil dibanding ayahku waktu kecil, aku belumlah menjadi apa-apa.

Tidak ada satu usahapun yang sukses aku jalankan, karena memang aku bukan pengusaha, tetapi seorang pegawai negeri. Aku hanya mengandalkan gaji bulanan saja, tidak banyak tantangan. Bukan berarti aku menyesal menjadi pegawai negeri, aku bersyukur mempunyai pekerjaan tetap, sementara masih banyak orang yang menganggur, walaupun pendidikan mereka tinggi.

Aku juga mempunyai masa kecil yang indah, tidak kekurangan, makan enak, biaya sekolah ada, itu semua berkat jasa orang tuaku yang pekerja keras. Dan ini yang aku akan terapkan pada anak-anakku. Aku membiarkan keempat anakku untuk menikmati masa anak-anaknya, dan sebagai orang tua, aku berusaha untuk memenuhi keperluan pendidikannya, lebih-lebih pengembangan setiap potensi yang dipunyai anak-anak saya.

Dan satu lagi, jiwa pekerja keras itulah yang terus menginspirasi aku, sehingga disamping kesibukan saya sebagai pegawai negeri saat ini, tidak sedikit usaha yang pernah aku jalankan. Walaupun belum optimal, jatuh bangun, belum ada yang sukes, minimal menjadi pengalaman yang sangat berharga, bahwa ternyata membuka usaha itu tidak mudah.

Dan itu semua tidak juga menyurutkan nyaliku, sampai sekarang juga aku masih bersemangat untuk mempunyai usaha, termasuk juga aku selalu mengajarkan pada anak-anakku untuk belajar berusaha, menjadi entrepreneur, orang yang mampu memberikan lahan pekerjaan pada orang banyak. Sebab dengan memperkejakan mereka, kita menjadi orang yang memberi manfaat kepada orang lain. Bukankah sesuai hadist Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik manusia adalah yang memberikan paling banyak manfaat kepada orang lain.

Jakarta, 25 Mei 2011
(Tulisan ini saya kirim ke mas Dedhy & Bung Helmy, berharap untuk diterbitkan menjadi buku tentang Ayah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku