Lelaki Kecil itu Belajar Kesetiaan

Menurut Lelaki Kecil yang selama ini dipahami, sebenarnya banyak sekali makna dari kesetiaan itu sendiri. Kesetiaan pada apapun, atau kepada siapapun sepanjang itu tidak keluar dari koridor syariat keislaman, maka pada dasarnya kesetiaan itu adalah anugerah. Ya, anugerah dari Allah yang diberikan kepada orang-orang yang beriman. Jadi kesetiaan itu adalah menjadi salah satu ciri orang-orang yang beriman.

Kesetiaan pada Allah adalah hal yang harus diutamakan diantara sekian banyak kesetiaan. Terus kemudian berlanjut kesetiaan pada Rasul-rasulNya, para nabi, pada jama’ah, kesetiaan pada para qiyadah, para sidiq, para salafus solih, dan kesetiaan pada orang-orang beriman lainnya.

Karena kesetiaan adalah sebagian ciri orang beriman, maka Lelaki Kecil itu juga berusaha belajar tentang kesetiaan. Termasuk sebagai seorang suami, Ia sedang belajar kesetiaan kepada istrinya.

Kembali Lelaki Kecil itu mengungkapkan sebagian perasaannya, perasaan tentang kesetiaan kepada istrinya. Perasaan yang dia alami dalam keseharian, yang selama ini menjadi seorang suami pembelajar. Bisa jadi Ia salah dalam memahami kesetiaan, atau barangkali ia berlebihan dalam memberikan kesetiaannya pada pasangannya, sehingga mengahalangi kesetiaannya pada sesuatu yang lebih tinggi.

Lelaki Kecil itu memahami bahwa setia itu adalah, seringkali Ia membangunkan istrinya ketika didapati istrinya masih terlelap, sementara adzan subuh sedang berkumandang. Membangunkannya dengan penuh kelembutan, penuh dengan kecintaan. Ia tidak ingin, pasangannya kehilangan waktu terbaiknya untuk melakukan sholat subuh. Ia tidak mau egois, Ia tidak mau hanya dia yang mendapat keutamaan dalam sholat subuh, sementara istrinya dibiarkan tidurnya terlelap sehingga sampai ‘telinganya dikencingi setan’. Hal ini terus menerus hal itu dilakukan, sehingga Lelaki Kecil itu setia membangunkan istrinya setiap subuh.

Atau dikesempatan yang lain, Lelaki Kecil itu setia mendengarkan curahan hati istrinya tentang berbagai hal, tentang anak-anaknya misalnya, anak-anak yang sering merengek-rengek kalau minta sesuatu, yang susah disuruh makan, yang suka jajan di warung sebelah, yang suka ‘berantakin’ maianan dan masih banyak lagi. Semua itu didengarkan dengan setia oleh Lelaki Kecil itu, dibiarkan saja istrinya mengeluarkan semua ‘uneg-uneg’nya tentang perilaku anak-anaknya.

Lelaki Kecil itu juga setia, tidak henti-hentinya ia terus memotivasi terhadap istrinya, agar tetap menjaga kondisi kesehatannya, agar tetap memanfaatkan waktu-waktu luangnya, tetap aktif mengikuti halaqohnya, membina ibu-ibu tetangga, menjaga hubungan baiknya dengan tetangga, sabar mengahadapi ‘kenakalan’ anak-anaknya.

Karena Lelaki Kecil itu berpendapat, bagaimanapun seorang istri adalah juga manusia, seorang wanita, sehingga adalah manusiawi muncul rasa ‘keluh kesah’ dalam berumah tangga. Itu adalah ungkapan perasaannya. Dan hal yang wajar ‘keluh kesah’ itu disampaikan kepada suaminya, lalu kepada siapa lagi lagi kalau bukan ke suaminya, bukankah suaminya orang yang terdekat dengan dia. Orang yang paling tahu perasaan istrinya.

Begitu juga Lelaki Kecil itu, seringkali ketika ia sedang tidak enak perasaannya, entah karena pekerjaan di kantor, karena ‘bandelnya’ para binaannya, atau karena sebab lainnya, maka ia tumpahkan semua ‘keluh kesah’ itu pada istrinya (dalam kesempatan tertentu ia ‘tumpahkan’ juga pada Sang Pemecah Masalah, Allah SWT). Ataupun sebailknya, ketika memperoleh keberkahan, kenikmatan, seperti mendapat bonus dari kantor, anak-anaknya berperilaku baik, ditempat kerja nyaman, ia mau berbagi pada istrinya. Dan istrinya pun setia mendengarkan itu semua. Karena bagi Lelaki Kecil, kesetiaan adalah timbal balik.

Seorang suami pun tidak jarang membutuhkan dorongan semangat dari istrinya, ketika ia sedang mengalami kejenuhan, kegelisahan, ataupun penurunan iman. Bukankah seorang Rasulullah pun mencari istrinya, Siti Khadijah, ketika Beliau mengalami kegelisahan, gemetar, badannya panas dingin, karena mendapat wahyu yang pertama kali melalui Malaikat Jibiril. Dan Siti Khadijah pun setia mendampingi sekaligus mencari solusi, manakala didapati suaminya sedang mengalami ‘keguncangan’ jiwanya yang amat sangat.

Jadi kesimpulannya, menurut Lelaki Kecil, bahwa kesetiaan itu milik siapa saja. Milik orang-orang yang beriman. Orang-orang yang berusaha untuk mendapatkannya. Kesetiaan adalah ibarat emas yang masih ada di dalam perut bumi yang dalam, kalau tidak digali dan diasah, maka emas itu tidak akan menjadi perhiasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku