Maaf Teman-temanku...

Oleh Abu Fathi


Maaf teman-temanku, Hari Ahad, 2 januari 2011 mulai pukul 06.00 pagi aku tidak bisa menghadiri liqo’ pekananku. Karena hari itu harus mengantar anakku yang paling kecil Fathi Yakan, 3 tahun, untuk pergi ke klinik Dokter yang ada Lab-nya. Hari itu adalah hari memasuki hari kelima anakku mengalami panas tinggi, bahkan panasnya kadang-kadang bisa mencapai 39,6 derajat Celsius. Sudah diberi obat dari resep dokter juga, tetapi panasnya belum turun-turun. Kalaupun turun, itu hanya sebentar, kemudian panas tinggi lagi. Sehingga, hampir tiap malam, selama 5 hari itu, tidurnya gelisah dan sering mengigau. Ditambah pula kalau lagi bangun, ditawari makan tidak mau, jadinya minum terus.

Sebenarnya sehari sebelumnya , aku sudah mencoba pergi dan mencari-cari tempat praktek dokter yang ada laboratoriumnya, tetapi ternyata banyak yang tidak melayani, karena hari itu tanggal 1 Januari, sehingga banyak yang libur, dokternya pun juga banyak yang tidak berpraktek. Aku juga sudah berusaha menghubungi lewat telpon, tempat-tempat lab seperti prodia, abc, tetapi ternyata mereka juga tidak buka. Akhirnya aku putuskan dirawat dirumah saja dulu, sambil tetap menjaga panas tubuh anak saya dengan memberi obat penurun panas, dan antibiotic yang diresepkan oleh dokter sebelumnya, tetap aku berikan. Aku juga menyediakan remufit, yang merupakan campuran dari angkak, jambu, dan cairan elektrolit yang menurut banyak teman dapat meningkatkan trombosit dalam darah. Karena aku sudah kuatir saja, kalau-kalau anakku terserang demam berdarah.

Sabtu malamnya panas tubuh anakku belum turun, Sabtu malam ini juga, jadwal aku mengisi halaqoh binaanku, dan tempatnya agak jauh dari rumah. Sementara, aku juga harus menjaga anakku yang sedang sakit, karena mbak yang biasa bantuin di rumah sedang tidak ada, pulang kampung, merayakan tahun baru katanya. Akhirnya aku putuskan untuk membawa seluruh keluargaku ke rumah ibu mertuaku, karena kebetulan rumah ibu mertua juga dekat dengan tempat untuk halaqoh.

Malam itu, sebenarnya ibu mertuaku menyarankan untuk membawa saja anak saya ke rumah sakit, untuk dirawat. Tetapi karena aku harus mengisi halaqoh, maka aku belum bisa mengikuti saran ibu mertuaku. Karena agar aku juga bisa memantau anakku dari dekat, maka aku hubungi saja mas’ul grup liqo’ binaanku supaya liqo’nya dipindah ke rumah ibu mertuaku.

Ketika tengah mengisi liqo’pun istri dan ibu mertua menyarankan kembali untuk membawa ke rumah sakit saat itu juga. Cukup lama aku berbeda pendapat dengan istri dan Ibu mertuaku, apakah anak saya harus dibawa ke rumah sakit untuk dirawat atau tidak. Untuk mengisi kekosongan liqo’ binaanku, akhirnya aku percepat saja agendanya, dengan qodoya rowa’i. Sambil aku belikan mi gorengnya si Udin yang kebetulan sedang lewat depan rumah.

Sebenarnya ada satu alasan yang membuat aku bertahan untuk tidak membawa anakku ke rumah sakit, karena bagaimanapun biaya rawat di rumah sakit tidak sedikit, sementara pos persediaan untuk itu belum ada. Tetapi aku tidak enak hati mengungkapkan ini, wong punya rumah, mobil, sendiri kok nggak punya duit untuk biaya rumah sakit. Ya, itulah kalau semuanya didapat dari mencicil, sehingga gaji bulanan nggak tersisa buat ditabung, karena habis untuk melunasi cicilan. Lho kok jadi cerita masalah uang sih???.

Ahad paginya aku sempatkan dulu datang ke rumah akh Frans, tempat liqo’ pekanan hari itu, untuk menyampaikan salam ke teman-teman dan sekaligus mohon untuk tidak bisa hadir. Karena juga harus menyerahkan contoh proposal ke akh Arif. Sepulang dari rumah akh Frans, aku mampir ke rumah, mengambil pakaian ganti buat anak-anakku. Sesampai di rumah ibu mertua lagi aku bergegas pergi tempat praktek dokter, tetapi aku masih harus menunggu, karena baru buka pukul 08.00.
“Satu jam lagi hasilnya ya Bu…” kata ibu Sri, petugas laboratorium, kepada istriku.
Akhirnya aku putuskan pulang dulu ke rumah ibu mertua, karena kalau harus menunggu satu jam kasihan juga anakku.

Dalam satu jam penungguan itu, pikiran jelekku muncul, jangan-jangan anak saya terserang demam berdarah, karena pada saat di ambil darahnya juga, panas tubuh anakku masih tinggi. Sempat juga aku sampaikan ke istri, kalau ternyata positif demam berdarah, atau trombositnya rendah mau nggak mau harus dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap.

Setelah hasil lab-nya aku ambil dan aku konsultasi juga dengan petugas lab-nya, Alhamdulillah…tenyata kekuatiranku salah. Berdasarkan hasil tes, darah anakku trombositnya masih 151 ribu, walaupun itu batas bawah, tetapi Insya Allah masih cukup tinggi. Tetapi kemungkinan ada infeksi, karena leukositnya tinggi (benar nggak sih analisanya? Mr dr. Rahmi).

Ahad sore, kira-kira sepulang dari sholat ashar, aku coba pegang badan anakku yang sedang tidur…Ajaib, badannya sudah tidak panas lagi, tetapi sekujur tubuhnya tampak kemerahan. Timbul bintik-bintik merah seperti sambung menyambung sehingga hampir memenuhi selaruh badannya. Ya Alloh…ya Rabbi…ternyata itu adalah campak atau orang biasa menyebut ‘tampek’. Alhamdulillah…sampai saya menulis ini, tubuh anakku tidak panas lagi, dan kata istriku sudah minta makan lagi.

Jakarta, 3 Januari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku