Waktu-Waktuku Setelah Perjalanan Bapak...

Kira-kira pukul 22.00 Kamis malam, 13 januari 2011 aku sampai di rumah orang tua. Yang sebelumnya agak tertunda sampai ke rumah, karena ada sedikit salah paham penjemputan oleh Mas Danang, teman Mas Rahap. Setibanya di Bandara Adi Sucipto, Jogjakarta segera aku menelpon Mas Danang, ternyata masih diperjalanan, tepatnya baru sampai Kalasan. Di bandarapun ternyata dia menunggu di Pintu Utara Bandara sementara saya ada di Pintu Selatan. Belum lagi Mas Danang juga agak lupa wajah aku, maklum baru sekali bertemu di rumah Mas Rahap.

Malam itu dirumah masih berlangsung acara 'tahlilan' yang dipimpin oleh Mas Darus, teman waktu kecil kakak saya Mbak Hermanah. Masih banyak orang yang melayat dan ikut acara 'tahlilan' tersebut. Segera aku salami orang-orang yang aku lewati, hampir semuanya aku mengenalnya, karena memang tetangga-tetangga juga. Ada juga beberapa yang tidak aku kenal, barangkali teman-teman Bapak di perkumpulan haji, termasuk juga ust. H. Mubari yang merupakan ketua perkumpulan haji di Delanggu hadir malam itu, aku sempat salaman juga sama Beliau.

Setelah meletakkan tas, aku langsung menemui Emak, aku dipeluknya erat sekali, sambil terus sesenggukan menangis, kelihatan sekali kesedihan Emak, sampai-sampai bilang bahwa Bapak sudah tidak ada, siapa lagi yang menemaninya, katanya. Cukup lama pelukan Emak nggak dilepas, yang sambil terus sambil ditenangkan oleh Kakak saya Mbak Hermanah. Empud, saudara sepupu saya, juga ikut menghibur saya, Insya Allah Bapak kamu khusnul khotimah, ujarnya.

Setelahnya selesai tahlilan aku bermaksud, membuka balutan kain kafan Bapak, tatapi dicegah oleh Mas Darus, supaya aku wudhu dulu, lalu sholat jenazah. Setelah ambil wudhu dan ganti baju, aku segera ikut sholat jenazah yang dipimpin oleh Pak Ikhwan. Baru kemudian aku membuka kain kafan yang menutupi muka Bapak, dan..segera aku tempelkan mukaku ke wajah Bapak, dingin sekali tubuh Bapak, tetapi mukanya kelihatan gagah, sepertinya sudah siap untuk menjemput 'malaikat maut' untuk membawa ruhnya. Cukup lama saya menempelkan muka saya ke wajah Bapak, sambil saya berjanji dalam hati, untuk berusaha menjadi anak yang bisa berbakti pada orang tuanya. Sekalipun orang tuanya sudah meninggal. Bukankah anak yang sholeh yang mendo'akan orang tuanya akan memberikan pahala yang terus mengalir walaupun orang tuanya sudah meninggal? Itulah harapan semua orang tua terhadap anaknya.

Setelah sholat jenazah, aku segera berhambur memeluk kakak-kakak dan adikku, semua memang terlihat sedih, tetapi sepertinya mereka juga tabah, sehingga terbawa juga aku untuk tetap tabah. Dan aku lihat juga tidak ada yang menangis sampai meraung-raung. Karena memang tidak disunahkan meratapi Saudaranya yang meninggal sampai berlebihan, meraung-raung misalnya, atau kadang-kadang ada juga menyakiti dirinya dengan membentur-benturkan ke tembok, karena saking sedihnya ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya. Sedih boleh, tetapi yang tidak boleh adalah berlebihan.

Malam itu aku makan tidak dengan perasaan sepenuhnya, karena masih sedih, menyesal rasanya tidak didekat Bapak ketika meninggal. Tetapi ada yang membuat saya takjub adalah, ternyata masih banyak sampai malam itu orang-orang yang dating melayat ataupun sholat di depan jenazah Bapak saya. Itu barangkali karena silaturahim Bapak pada orang-orang, sehingga sampai meninggalnyapun banyak yang terkenang dengan Bapak.

Malam itupun aku tidak bisa tidur nyeyak, walaupun sudah berusaha untuk tidur. Akupun sempat melihat para tetangga mulai menggali laing kubur sekitar pukul 03.30. Karena nggak bisa tidur itu, aku manfaatkan saja 'ketidakbiasaan tidurku' dengan tilawah dan sholat tahajjud, sampai sholat subuh pun belum ada rasa kantuk. Baru sekitar pukul 06.00 baru timbul rasa kantuk, aku tidur sebentar sekitar 40 menit, lalu mandi dan berganti pakaian karena sudah ada tamu yang cukup banyak untuk melayat Bapak.

Jenazah Bapak baru bisa direncanakan dikuburkan nanti pukul 10.00 pagi, karena tempat untuk pemakaman di kampung sudah penuh, sehingga sepertinya tidak ada lagi tempat untuk Bapak. Karena kebetulan halaman belakang rumah Bapak itu menyatu dengan kuburan, hanya dibatasi oleh tembok pagar. Sehingga, setelah malamnya ada kesepakatan dengan pengurus RT setempat dan Saudara-saudara saya, akhirnya diwakafkanlah sebagian tanah bapak sekitar 6x10 m2 untuk tempat pemakaman umum, dan pagar tembok yang membatasinya di jebol untuk dibuat sebagai pintu penghubung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku