Aku Tertinggal Rombongan
Saat rukun haji, lontar jamarot, kami satu
rombongan KBIH Labbaik, sudah persiapan sebelumnya. Bagi yang sehat, maka semua harus berangkat,
tidak ada yang dibadalkan. Jarak antara
tenda tempat kami menginap di Mina, dengan tempat jumroh, sekitar 4 km. Jadi pulang pergi ya 8 km. Dengan berjalan kaki mungkin butuh waktu 3-4
jam pulang pergi.
Dengan berjalan kaki, kami satu rombongan beriringan. Masing-masing memperhatikan kanan kirinya,
tidak boleh ada yang terlepas. Agar
tidak tercecer, maka dibuat bendera KBIH,
yang dipasang diatas tongkat, di bawa oleh Ketua Rombongan. Setiap jamaah juga menggunakan syal warna orange,
agar mudah menandainya.
Sengaja, rombongan kami mengambil waktu sesuai
jadwal yang sudah ditentukan, untuk jamaah Indonesia, katanya jadwal tersebut
tidak berbarengan dengan jamaah Afrika yang tinggi-tinggi, sehingga tidak terlalu
berdesak-desakan.
Rombongan Wanita ada di depan, termasuk istriku,
tidak berdekatan denganku, sengaja di depan dengan jamaah perempuan yang lain. Aku beriringang dengan jamaah laki-laki di
belakang.
Jamaah yang sangat ramai, ditambah cuaca sangat
panas, matahari sangat terik. Menambah
perjalanan lontar jamarot ini butuh mental dan fisik yang kuat, benar seperti yang
diceritakan orang-orang yang Sudha berhaji.
Maka setiap jamaah harus bawa air minum, dan botol
semprot berisi air. Jadi setiap saat, kita
bisa minum air, dan bisa menyemprotkan air ke muka, badan, agar tidak terlalu
panas. Di sepanjang jalanpun, banyak
petugas haji dari Indonesia, yang menyemprotkan air ke para jamaah.
Saat aku berada di belakang rombongan, ada
seorang jamaah, bapak-bapak tua, jalannya agak pelan, dan sering teringgal
dengan rombongan. Maka, akupun
inistiatif menemani bapak ini, sambil ngobrol banyak.
Ternyata bapak ini asli Makasar, tetapi ikut kloter
Tangerang Selatan, namanya Lapinta, umurnya 74 tahun, mantan nahkoda
kapal. Mungkin karena sudah berumur,
maka jalannya pun agak pelan, sehingga kami berdua tertinggal dari
rombongan. Rombongan tidak ada yang
tahu, kalau kami berdua tertinggal.
Ketika mau melewati terowongan Mina, Bapak ini
seperti sempoyongan, mau jatuh, untungnya segera aku pegang tangannya, sehingga
tidak terjatuh. Gak apa-apa kok,
katanya. Dia bilang kesandung batu,
padahal jalannya semen, tidak ada batu.
Wah, halusinasi nih Bapak, pikirku.
Sambil terus aku gandeng, Bapak ini mau melanjutkan jalan, kuat katanya.
Baru beberapa Langkah, Bapak Lapinta ini ambruk,
untung aku tahan tubuhnya, sehingga tidak jatuh. Ada Askar, yang menggendong membawanya ke
tempat yang agak lowong, lalu dipasanglah plastic pembatas, mengelilingi Bapak
dan Aku, agar tidak dilalui atau ditabrak jamaah lain. Lalu, Bapak Lapinta di tidurkan telentang,
dan diguyur air, sepertinya dehidrasi.
Askar, menanyai asal kami berdua, dari
Indonesia. Lalu dipanggillah petugas
haji dari Indoensia. Petugas lalu
menanya-nanya kami sebentar, dari kloter berapa, rombongan jamaah haji mana,
menginan di tenda berapa. Datanglah
ambulan untuk membawa Bapak Lapinta.
Sebelum masuk ambulan, Bapak Lapintn menitipkan
batu, dan berpesan minta tolong dibadalkan lontar jamarot. Baik Pak… jawabku.
Aku berpesan kepada petugas haji agar Bapak
Lapinta diantarkan ke tenda lagi. Sementara
aku, memulai petualangan sendiri, menuju tempat lontar jamarot, padahal aku
juga belum tahu tempatnya.
Aku ikut arus jammah saja, karena sendirian,
sehingga jalanku lebih cepat. Fkiranku
hanya satu, aku harus selesai lontar jamarot.
Istri aku yakin, Bersama rombongan yang lain.
Didepanku, aku melihat bendera rombongan dari
Solo (SCO) , kulihat nomor kloternya, ternyata kloternya rombongan adikku,
Rahmat. Dan benar, aku lihat adikku, aku
percepat langkahku, lalu kutepuk punggungnya dari belakang. Subhanallah, Masya Allah, kaget sekali Rahmat
dan istrinya, bisa ketemu di tempat lontar jamarot. Kami berpelukan, dan bisa lontar jamarot bareng
dengan Rahmat.
Beberapa hari sebelumnya, aku dan istri berniat
main ke hotel tempat Rahmat menginap, tetapi karena aku sakit, belum bisa
silaturahim ke tempat Rahmat. Aku minta
Rahmat main ke hotelku, takut katanya, belum berani pergi jauh dari hotel. Paling kalau pergi ke Masjidil Haram aja,
itupun bareng dengan jamah yang lain.
Ternyata Allah SWT punya kuasa, mempertemukan kami di tempat lontar
jamarat, yang sebelumnya sudah punya niat untuk bertemu.
Selesai lontar jamarot, dan badalin Bapak
Lapinta, aku pamit ke Rahmat untuk meninggalkan rombongan. Aku berjalan agak cepat karena sendiiran,
agar bisa sampai ke tenda juga lebih cepat, sehingga bisa istirahat dulu.
Sesampai di tenda penginapan di Mina, aku datang
lebih dulu dari rombongan. Terlihat Bapak
Lapinta sudah segar bugar, terlihat senang menyambut aku datang.
Manna, 23 Juli 2021
Komentar
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar dengan tetap menjaga kesopanan