Untuk Anak-anakku, Nikmatilah Duniamu

Hari itu, Senin tanggal 8 September 2008 aku mengajak anak-anakku Afaf, Difa, Haqi dan keponakanku Azzah untuk menonton film ‘Laskar Pelangi’ di Studio 21 Bintaro Plaza. Saya sengaja mengajak mereka untuk menonton film itu. Kata orang-orang yang sudah menonton, film itu sangat inspiratif, terutama untuk anak-anak yang masih sekolah. Film itu memberikan ‘ruh’ yang sangat luar biasa, bahwa anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi dengan segala keterbatasannya, tetapi bersemengat untuk sekolah. Tidak seperti sebagian anak-anak sekolah di Jakarta sekarang, bukannya belajar yang ada malah tawuran.

Tetapi Saya tidak ingin bercerita tentang alur cerita dalam film itu, saya sengaja ingin melihat tingkah anak-anak saya ketika mereka berada di lingkungan yang di luar kebiasaanya sehari-hari yaitu di dalam gedung Bioskop. Saya juga ingin melihat bagaimana anak-anak saya ‘memaknai’ film tersebut, bagaimana anak-anak saya akan ‘mengeksplor’ kembali cerita-cerita yang ada dalam film tersebut.

Alhamdulillah masih dapat sholat ‘Ashar berjama’ah. Setelah ambil air wudhu saya sholat, anak saya Haqi mau ikut sholat. Kebetulan saya jadi imam dan ada makmumnya dibelakang saya 2 orang. Saya sholat dilantai bawah, setelah selesai saya menuju ke lantai 3 tempat Studio 21 berada.

Sebelum masuk ke dalam gedung Bioskop, tak lupa saya membeli dulu makanan-makanan kecil. Ada susu kotak, coklat, minuman ‘pocari sweat’, susu ‘milkuat’, dan kue-kue. Untuk persediaan anak-anak agar tidak ‘bete’ di dalam ruangan yang gelap, dan masih asing bagi mereka. Ketika masuk, pertunjukan sudah dimulai. Kebetulan kami mendapat tempat duduk paling depan sisi tengah. Dan jarak antara tempat duduk kami dengan layar bioskop sekitar 5 meter. Jadi bisa dibayangkan sangat dekat sekali, karena layarnya yang sangat lebar.

Didalam gedung bioskop, mereka sangat ‘menikmati’ film itu. Afaf, anak saya yang paling besar kelas 2 SD, dengan asyik tanpa berisik memperhatikan dengan baik setiap penggalan-penggalan cerita yang ada di film itu. Ketika ada adegan yang lucu, Afaf ikut tertawa. Atau ketika ada adegan sedih, saya perhatikan matanya ikut berkaca-kaca. Saya senang melihatnya, sepertinya Afaf sudah bisa menangkap atau ‘mengikat makna’ pada film itu.

Kemudian saya perhatikan Difa, anak saya yang berumur 6 tahun kelas 1 SD. Dia awalnya cukup tenang memperhatikan film yang sedang diputar, sekali-kali minta coklat ke saya, terus memakannya sambil masih menonton. Tapi itu di awal-awal saja, kemudian Difa mulai tidak ‘nyenyak’ duduk di kursi berlama-lama. Dan benar akhirnya Difa mulai jalan-jalan, kesana kemari mendekati layar, menjauhi layar, kadang-kadang memegang-megang kain layar. Sepertinya tangannya tidak mau diam, rasa penasarannya mulai timbul, kadang-kadang melhat ke belakang, melihat bangku-bangku yang tersusun rapi dan dipenuhi banyak penonton. Atau sekali-kali Dia tidur-tiduran di atas karpet lantai bioskop. Tetapi Dia sangat menikmati itu.

Melihat kakaknya jalan-jalan kesana-kemari di depan layar, anak saya Haqi, yang sedang belajar di Play Group Baitul Maal, mulai tergoda. Kemudian tidak lama, Haqi bergabung dengan kakaknya, Difa. Jadilah kedua anak saya itu ‘bersekutu’ untuk ‘menikmat’ film itu dengan cara mereka. Mereka terlihat kompak, kadang-kadang main berantem-beranteman, lari-lari kesana-kemari, mengangkat-angkat tangan menghalangi sorot lampu film yang berwarna-warni yang datang dari arah belakang. Tingkah mereka persis apa yang mereka lakukan ketika sedang bercanda di rumah.

Itulah sebenarnya, dunia anak-anak. Mereka sedang menikmati masa kanak-kanaknya, mereka sedang belajar, bekerja dengan caranya sendiri. Kehidupan mereka masih murni, jiwa mereka masih bersih. Tinggal bagaimana kita sebagai orang tua mengarahkannya saja. Tetapi Sering kali kita menganggap bahwa cara berfikir mereka seperti kita orang dewasa, sehingga kita sering marah atau membentak, atau ngomong dengan sangat keras ketika anak-anak kita melakukan suatu perbuatan, yang menurut kita, membuat kita akan kewalahan akibat tingkah laku mereka.
-----------------------------------


Anak-anak kita bukanlah ‘orang dewasa yang berbadan mini’, sehingga mengganggap cara berfikir mereka sama dengan kita.

Suatu ketika anak saya Afaf dan Difa bermain menghambur-hamburkan uang receh logaman yang selama ini mereka kumpulkan dalam celengan mereka. Uang receh logam Rp 1.000-an dan Rp 500-an yang dibuka dari celengannya, mereka sebar dan dihamburkan-hamburkan di lantai. Kemudian mereka bermain-main, tidur-tiduran, di atas uang receh logam yang tersebar di lantai itu.

Melihat itu, Saya dan Umi-nya yang dari awal tidak begitu memperhatikan mereka, dari kejauhan sudah mulai menampakkan muka yang sangat ingin marah, ingin menumpahkan semua kemarahan itu kepada kedua anak saya. Tetapi sebelum kemarahan dan bentakan itu muncul, saya teringat bahwa mereka adalah anak-anak. Dan mereka berbuat itu bukan tidak ada maksud. Kemudian saya mendekati kedua anak saya, dan bertanya.

“Kak, kok uangnya dibuang-buang dilantai sih, kan lantaianya jadi kotor lagi? Umi baru saja mengepel lantai ini Nak.” Tanya saya pada Anak saya Afaf yang biasa saya panggil Kakak.

“Kan ceritanya ini air Bi. Aku lagi berenang di atas air ini.”
‘Ya udah, nanti kalau berenangnya sudah selesai, kita sama-sama kumpulin airnya lagi ya. Kan sayang Nak, air dibuang-buang.’

Dari jawaban itu, kita harusnya menyadari, bahwa mereka berbuat itu adalah dalam rangka menikmati dunianya. Sebenarnya itu adalah kecerdasan imaginasi-nya. Mereka belum mampu berfikir, bahwa perbuatan itu akan membuat Umi dan Abinya kelelahan membereskan kembali uang-uang yang berhamburan, atau akan mengotori kembali lantai yang sudah dipel.

Itulah sebenarnya, ketika menghadapi anak-anak kita harus posisikan sebagai anak-anak juga. Berfikirlah sebagaimana mereka berfikir, Jangan mudah terpancing untuk marah, maknai dulu maksud mereka melakukan perbuatan itu. Kemudian kita libatkan mereka untuk memberi contoh perbuatan baik yang kita lakukan.


Jakarta, 9 November 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku