Mbak Irah Membawa Asa...

Mbak Irah telah kembali dari pulang kampungnya, banyak asa yang dia bawa, termasuk ingin menyelesaiakan prahara rumah tangga bersama suaminya. Dia mulai lagi dengan kebiasaan sehari-harinya, membantu nyuci gosok dirumah-rumah di komplek tempat saya tinggal, bahkan sampai 3 pintu di lakonin, demi hidup dan sekolah anaknya.

Kembali hari itu dia datang ke rumah saya, membantu nyuci dan gosok, datang pukul 07.30 pagi dan nanti sekitar pukul 09.00 telah selesai. Kalau masih ada waktu luang atau ketika istri ada keperluan keluar rumah, kadang-kadang mbak Irah ikut membantu memasak, walaupun sebenarnya kegiatan memasak ini biasa dikerjakan oleh istri saya.

Tetapi hari itu lain, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 lebih, mbak Irah belum beranjak pulang, walaupun sebenarnya tidak ada lagi pekerjaan yang harus diselesaikan.
Sepertinya ada sesuatu yang akan disampaikan pada istri saya, tetapi susah terucap dari mulut mbak Irah. Istri saya menangkap gelagat ini, segera saja istri memancing memulai pembicaraan.

“ Gimana mbak… Ibu di kampung? Udah sehat?” istri saya memulai pembicaraan dengan menanyakan kondisi ibunya dikampung yang sedang sakit.
“Sudah baikan sih bu…, cuma nggak ada yang jaga aja” Jawab mbak Irah.

Kata mbak Irah, cucunya perempuan (anak dari kakak mbak Irah) yang biasa jagain ibunya, sekarang merantau ke Bekasi, mencari pekerjaan sebagai penjaga toko. Sehingga tinggal cucunya yang laki-laki (anak mbak Irah) saja yang menemani ibunya.

Eh…belum juga ditanya oleh istri, kembali mbak Irah bercerita tentang prahara rumah tangganya. Walaupun sebenarnya selama ini dia tidak pernah cerita masalah ini ke siapa pun, termasuk pada majikan-majikannya yang dulu, atau curhat ke teman-temannya juga tidak, kecuali kepada ibunya saja di kampung. Kata mbak Irah, sebab siapa sih aku ini…?, sehingga orang lain harus tahu masalah saya. Tetapi entah mengapa dia mau bercerita pada istri saya, sepertinya ada dorongan yang kuat untuk bercerita pada istri saya, atau karena memang ada keinginan mbak Irah sendiri untuk menyelesaiakan masalah ini, yang memang perlu bantuan orang lain.

Hebatnya juga mbak Irah…, walaupun hatinya menangis tetapi tetap senyum dan bertegur sapa setiap bertemu dengan orang lain. Sehingga sepertinya orang lain melihat rumah tangga mbak Irah baik-baik saja.

Sambil matanya berkaca-kaca, mbak Irah mengungkapkan bahwa sejak dari pulang kampung sampai hari ini, dia masih didiamkan oleh suaminya, tidak pernah diajak ngomong, ditanya mau kemana, atau sudah makan belum pun tidak.

Mungkin sudah 2 bulanan ini, mbak Irah diam-diaman (bener gak sih bahasanya…) dengan suaminya. Tidur, makan, masing-masing aja. Walupun tiap hari ketemu, tegur sapa juga tidak. Tidak pernah diberi nafkah, baik lahir maupun batin. Makanya mbak Irah kadang-kadang heran juga, kok jadi begini rumah tangganya, padahal dulu ketika perkawinan yang pertama gagal, berharap perkawinan kedua ini baik-baik aja, tetapi ternyata realita berkata lain.

Panjang lebar (artinya, luas dong…) mbak Irah menceritakan semua itu, sepertinya plong juga hatinya, akhirnya ada yang mau mendengar ceritanya, ada yang mau peduli terhadap masalahnya.

Dan Istri sayapun mencoba memberikan bantuan, barangkali ada sesuatu yang salah pada ucapan mbah Irah atau perilakunya sehingga menyebabkan suaminya menjadi seperti itu. Memang benar, suaminya malas, tetapi bisa jadi cara menyampaikan nasihat yang salah kepada suami, sehingga makin menyinggungg perasaan suaminya.

Kata istri saya, “Coba deh ingat-ingat dulu waktu masih pacaran, atau awal-awal pernikahan. Nah, mbak ulangin lagi tuh…”
“Maksudnya…Bu?” Mbak Irah sepertinya masih belum menangkap maksud istri saya.

Coba anggap aja kita lagi pacaran, mengucap kata-kata sayang, jalan berdua, saling menyuapi makanan. Tetapi sebelumnya dekati dulu suaminya, ajak bicara baik-baik, sampaikan dengan lembut kenapa suaminya mendiamkan mbak Irah. Jangan-jangan mbak Irah sendiri penyebabnya, yang kasarlah sama suami, judes, nggak mau dandan, atau sebab lain.

Selama ini memang, menurut istri saya, mbak Irah orangnya kelihatan judes, jarang tersenyum, dan seringnya wajahnya selalu ditekuk, tidak ‘friendly’, walaupun kalau lagi kerja cekatan.

“Pernah mandi berdua…nggak?” Tanya istri saya.
“Ah ibu…ada-ada saja” mbak Irah heran.
“Coba dong…sama suami ini, mau ngapain aja juga boleh.” Kata istri saya sok dialeg betawi.

Banyak sudah nasehat-nasehat istriku pada mbak Irah, dan sepertinya dia juga senang atas nasehat-nasehat itu. Dan mbak Irahpun sangat tertegun, terharu, karena ini adalah hal yang baru bagi dia, semoga ini dapat membantu masalah yang sedang melilitnya. Kata istri lagi, yang penting komunikasi, terbuka, masing-masing menyampaiakan keinginannya dengan lembut.

“Terima kasih ya…Bu. Saya coba deh.” Mbak Irah mengakiri curhatnya kepada istriku.

Tak terasa hari makin siang menjelang sholat dhuhur, mbak Irah mohon pamit minta pulang, karena sorenya harus nyuci gosok lagi di rumah yang lain. Mbak Irahpun pergi meninggalkan rumahku dengan wajah yang berseri, ada asa disana, ada harap, ingin segera menyelesaiakan masalah dengan suaminya.

Semoga…

Oleh Abu Fathi
Jakarta, 21 Desember 2010

Komentar

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar dengan tetap menjaga kesopanan

Postingan populer dari blog ini

Subhanalloh… Istriku Antar Jemput Sekolah

Inspirasi Bapak Tua Penjual Buku

Sepenggal Cinta Murobbiku